Iklan Adsense

Thursday, February 29, 2024

Politik Adu Domba (Kesultanan Indrapura - Bab 7)

 

Politik Adu Domba
Sebuah Catatan Sejarah Tentang Beberapa Raja dan Sultan-Sultan
a.  Sultan Malafarsyah
Sultan Malafarsyah adalah ayah Sultan Indrapura Muhammadsyah. Raja Sulaiman adalah salah seorang menantu Raja Malafarsyah. Keduanya terpaksa meninggalkan istana karena adanya kerusuhan di kalangan rakyat yang tidak menyukai Malafarsyah dengan menantunya Sulaiman.
Rakyat ingin Raja Muhammadsyah tetap memerintah dan tidak mau diganti, baik oleh ayahnya maupun oleh Sulaiman. Raja Malafarsyah dan keluarganya terpaksa menyelamatkan diri ketika rakyat menyerang keluarganya.
Ketidak senangan ini berawal karena konflik Raja Muhammadsyah  dengan Raja Adil dari Manjuto. Tentu saja konflik ini tidak akan terjadi bila tidak ada dalangnya.
Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang  (Sinar Harapan, Jakarta :1981) banyak menguraikan tentang konflik berbagai kepentingan antara Inggeris dan  VOC, yang kemudian mengkambing hitamkan Aceh, dan Belanda berjanji akan membantu  Indrapura untuk mengusir Aceh.
Politik adu domba Belanda ternyata berhasil  memecah belah para pemimpin negeri. Belanda tidak segan-segan memutar balikkan  berbagai kesepakatan yang telah dibuat lewat wakil-wakil rakyat. Kedudukan VOC Belanda di Pesisir Barat Sumatera Barat menjadi kuat berkat diplomasi  Groenewegen dan Verspreet.
Raja Adil dari Manjuto menerobos monopoli Belanda dengan berpihak kepada Inggeris dan bekerjasama dengan Banten, diikuti oleh Tarusan yang diam-diam menjauhi VOC dan menjual hasil ladanya kepada pihak lain. Hal ini menimbulkan kemarahan Raja Muhammadsyah yang dikendalikan ayahnya Raja Malafarsyah yang berpihak kepada Belanda, dan menginginkan hubungan dagang dengan VOC tetap berlansung.
Pertikaian antara Raja Adil dengan Sultan Muhammadsyah dari Indrapura, memicu konflik berkepanjangan, dan baru benar benar selesai setelah meninggalnya Sultan Malafarsyah ayah Sultan Muhammadsyah pada tahun 1673 dan Raja Sulaiman menantu Malafarsyah  meninggal pada tahun berikutnya.
b.  Ali Akbar Raja  Adil Dari  Manjuto
Pada tahun 1720, Indrapura telah menunjuk salah seorang putranya bernama Ali Akbar menjadi Raja di Manjuto. Hal ini karena setelah serangan Panglima Indrapura ke selatan, negeri Semungo hancur dan tiada ditunggui orang lagi. Penduduk Semungo pindah mengungsi ke mudik sungai Selaut, yang kemudian berkembang menjadi negeri Selaut, bagian wilayah Manjuto – Muko-Muko.
Dengan dinobatkannya Ali Akbar[60] sebagai Raja di Manjuto dengan  gelar Raja Adil  bukan Sultan Adil,  praktis kerajaan ini boleh berdiri sendiri. Upeti yang selama ini dipungut oleh Indrapura, dipergunakan sendiri untuk belanja Kerajaan Manjuto-Muko-Muko.
Otonomi Manjuto – Muko-Muko ini diakui juga oleh Sir Thomas Rafles, Letnan Jenderal di Benteng Malborough, Bangkahulu. Sebuah Surat Pernyatan resmi dari pemerintahan Inggeris yang disebut Surat Kulit Kambing ditanda tangani juga oleh Lord Wettington dengan Cap Stempel Groote Brittain, pada tahun 1823.
Wilayah Manjuto-Muko-Muko berbatasan, sebelah utara sampai ke Lubuk Pinang, ke selatan sampai ke Ketaun dan lingkaran Rejang Empat Betulai serta Anak Perwatin Kurang Aso Enam Puluh.
Tetapi anehnya kemudian setelah Raja Adil berkuasa di Manjuto, justru  sering merongrong kekuasaan Indrapura yang pada waktu itu dipegang oleh Sultan Muhammadsyah. Manjuto dibawah pimpinan Raja Adil, tidak mengakui Sultan Muhammadsyah sebagai raja. Akibatnya konflik antara Manjuto dengan Indrapura  berlanjut menjadi perang saudara.
Raja Adil di Manjuto jelas dapat dukungan dari pihak Inggeris di Bangkahulu. Sehingga untuk mengatasi keadaan, Sultan Muhammadsyah dengan beberapa Penghulu Mantrinya datang ke Pulau Cingkuk minta bantuan kepada Belanda, yang waktu itu dipimpin oleh Groenewegen.
Tanggal 5 April 1665 Manjuto dapat direbut Belanda dan Raja Adil melarikan diri ke gunung, kemudian diundang ke Seblat, Bangkahulu. Dari sini Raja Adil dapat diusir oleh Sultan Indrapura dengan bantuan Belanda. Keadaan di Indrapura kembali menjadi tenteram.
Groenewegen[61] mengirim surat ke Batavia tertanggal 8 Februari 1664, menerangkan keadaan di Sumatera Barat dan tindakan-tindakan apa yang baik diambil. Bulan Oktober berikutnya sampailah di Pulau Cingkuk satu eskader kapal VOC membawa lebih kurang 300 orang tentara. Sebagian dari ekspedisi diturunkan di Indrapura dengan alasan untuk memperkokoh kedudukan Sultan Muhammadsyah yang selalu diganggu oleh seorang yang bernama Raja Adil di Manjuto.
Ketika Groenewegen digantikan oleh Verspreet seorang sipil Belanda yang all-round berani dan bertangung jawab, yang menurut Rusli Amran : Semacam Groenewegen kedua. Dalam hal Indrapura Verspreet menempuh jalan lain dari pada Groenewegen.
Menurut Verspreet, rakyat menyokong Raja Adil karena rakyat membenci Sultan Malafarsyah yang memerintah atas nama anaknya Muhammadsyah yang masih muda. Sultan ini yang selalu mempergunakan  nama dan kekuatan VOC untuk tujuan-tujuan tertentu sehingga rakyat melarikan diri dan Indrapura menjadi sepi.
Belanda berhasil lagi dengan politik adu dombanya, sehingga banyak rakyat petani menggabungkan diri dengan Raja Adil. Sementara Sultan Malafarsyah yang pergi ke Pulau Cingkuk minta bantuan lagi, ditolak seenaknya oleh Verspreet. Akhirnya persoalan Raja Adil diselesaikan sendiri berkat bantuan Rajo Mantari dari Batangkapeh bersama Sidi Naro. Pada pertemuan kepala-kepala di Pulau Cingkuk dicapai persetujuan.
Raja Adil yang tidak jemu-jemunya memimpin perlawanan Manjuto terhadap Indrapura dan Kompeni, sejak 1685 menukar taktiknya. Dari musuh yang gigih ia menjadi teman Kompeni  Belanda yang setia. Apalagi bila diingat, Inggeris yang mendirikan lojinya di Silebar Bengkulu dapat mengadakan perjanjian persahabatan dengan Indrapura tentulah Manjuto akan terjepit sendiri.
Untuk menghindarkan itulah Raja Adil berbalik merdekati Kompeni Belanda, sehingga Verspreet secara diam-diam mendukungnya, dan menolak permintaan Sultan Malafarsyah.
Sultan Muhammadsyah menjadi raja di Indrapura tetapi ayahnya Malafarsyah, dilarang ikut campur dalam pemerintahan. Raja Adil sebagai wakil Sultan, memimpin pemerintahan antara Manjuto dan Selebar di Sungai Bangkahulu tetapi berjanji akan mengirim hasil ladanya ke Pulau Cingkuk dan berusaha agar Selebar pun menjual ladanya ke sana. Verspreet dengan bijak mendamaikan kedua raja yang berseteru itu, sehingga keduanya dapat dikuasai demi kepentingan Kompeni di Pesisir.
Walaupun sudah terjadi perdamaian antara Raja Adil dengan Raja Indrapura, tetapi  sesudah Verspreet berangkat, yang digantikan oleh Pits sebagai opperkoopman masih harus menghadapi persoalan-persoalan. Sengketa Raja Adil dari Manjuto dengan Raja Muhammadsyah dari Indrapura kambuh kembali, bersaman dengan terjadinya konflik baru antara Bayang, Tarusan dan daerah  Bandar Sepuluh.
c. Sultan Balindung, Tuanku Sembah
Ada dua orang Raja Kerajaan Kesultanan ini yang memiliki kharisma tersendiri, sehingga disegani oleh rakyatnya. Kharisma itu muncul dari sikap, tindak, laku dan perbuatan raja tersebut yang betul-betul ,menyentuh hati rakyat. Dua hal yang menonjol dari raja tersebut  :
Pertama,  Tuanku Sembah, berasal kalimat Tuanku Sembahyang, artinya Tuanku yang banyak beribadah, alim, dan shaleh. Rakyat mengetahuinya dan segan kepada beliau Sulthan ini, karena kesalehan dan ketakwaannya kepada Allah Swt.
Kedua, Tuanku Belindung, berasal dari kalimat Tuanku Tempat Belindung.  Ada makna tersendiri bagi rakyat yang diayomi oleh seorang Sulthan berwibawa dan punya kharisma kepemimpinan sebagai raja.
Seorang Raja atau Sulthan yang betul-betul  menjadi pemimpin rakyat akan dekat dengan hati rakyat. Tiada tempat berlindung selain Allah Yang Maha Perkasa, dan di bumi kehidupan ini tentu ada pemimpin yang dapat menyejukkan perasaan disaat-saat  masyarakat dilanda berbagai ancaman dan cobaan hidup berupa kekacauan, bencana alam dan serangan musuh.
Dengan demikian spirit perjuangan rakyat dapat disatukan dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan musuh yang datang, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Hanya ada dua orang Sulthan sebagai Raja yang digelari rakyat dengan sebutan Tuanku Sembah dan Tuanku Balindung, yakni : Sulthan  Mohammad  Arifinsyah Gelar Sulthan Mohammadsyah (1840-l860), dan Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah  Raja Terakhir di Indrapura (1860-1891).
d.  Regent Rusli
Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah diangkat Belanda jadi Regent Indrapura pada tahun l892, sebagai penggganti kekuasaan Sri Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah yang direbut secara halus. Marah Rusli  sekaligus adalah menantu beliau.
Sebagai menantu Sultan Mohammad Bakhi berarti Tuanku Rusli tidak termasuk dalam jajaran silsilah ranji zuriat keturunan  Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah baik secara patrilinial maupun matrilinial.
Istri Tuanku Rusli adalah Putri Jalaliah anak kandung Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah dengan permaisuri beliau Tuanku Putri Lela Rekna. Secara matrilinial Tuanku Rusli tiga bersaudara satu ibu lain bapak. Ibu Tuanku Rusli adalah Siti Ramah, asal dari Lunang.
Tidak didapat keterangan tentang silsilah keturunan  Siti Ramah di Lunang. Ayah beliau Tuanku Rusli  bernama Marah Kadilin Gelar Sutan Takdirullah anak kandung dari Tuanku Abdul Muthalib  Raja Muko-Muko dengan permaisurinya bernama Tuanku Putri Rekna Laut.
Sebelum wafat Tuanku Sultan Mohammmad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, beliau berwasiat dan meninggalkan amanat kepada menantunya Tuanku Rusli yang diangkat Belanda menjadi Regent Indrapura. Usiat  tersebut beliau sampaikan di hadapan  Penghulu Mantri Yang Dua Puluh dan di hadapan Mangkubumi, berrnama Kabat Gelar Maharajo Iddin :
Hai Rusli jika kamu diangkat Belanda jadi ganti aku ?  Alam Kurinci jangan kamu tunjukkan pada Belanda. Apabila dilakukan juga maka kamu akan dimakan kutuk nenek moyang Raja di alam negeri Air Pura (Indrapura) semasa di Bukit Sitinjau Laut Kurinci. Ingat benar amanat ini. Kalau dilanggar kamu akan dimakan kutuk segala arwah nenek moyang Raja Air Pura (Indrapura). Umurku tiada berapa hari lagi, ingatlah pesanku itu, walaupun apa yang terjadi jangan ditunjukkan Alam Kurinci itu.”
Pada tahun 1899 semua Tuanku Panglima dan Tuanku Bandaharo di Padang dan Mangkubumi di Indrapura diberhentikan dari jabatannya oleh Pemerintah Belanda dan tiada berkuasa lagi. Cuma Regent  Indrapura yang masih tetap. Dengan demikian Tuanku Rusli sebagi Regent Indrapura praktis telah menjadi kaki tangan Belanda buat menaklukkan Alam Kurinci. Pemerintah Belanda telah menduduki dan menguasai Indrapura.
Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah sebagai Regent Indrapura diberhentikan dari jabatannya pada bulan Agustus tahun 1911. Konon sebab-sebab pemberhentian tersebut ada kaitannya dengan masalah pribadi antara Tuanku Regent Indrapura dengan Commandeur Belanda bernama Marskveen.
Indrapura kemudian, tahun 1911 dikepalai oleh seorang Hood Negeri saja, dipilih diantara Penghulu Mantri Yang Dua Puluh. Dan buat pertama kalinya diangkat seorang yang bernama Sutan Gandam Gelar Rangkayo Maharajo Gedang, salah seorang  Penghulu Kaum Adat di negeri Indrapura.
e.  Raja Nagari Padang
Bahwa Kerajaan Kesultanan Indrapura dalam sejarahnya disebut sebagai penguasa wilayah pesisir barat Sumatera Barat. Dengan demikian Padang pada zamannya termasuk dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Kesultanan Indrapura. Oleh karena itu Kerajaan Kesultanan Indrapura menunjuk perwakilannya di Padang, yakni :
1791-1798 : Sulthan Mansyursyah Gelar Sulthan Ahmadsyah,
Salah seorang Panglima Indrapura yang ditunjuk menjadi  Perwakilan Kerajaan Kesultanan Indrapura di negeri Padang. Sulthan ini wafat di Indrapura pada tahun 1789, berkubur di  Gobah Tandikat Indrapura.
Di Padang, beliau berkedudukan di Kampung Dalam Seberang Padang. Rumah Gadang dan Istana (Balairung Sari) dan Gobah terletak di Jerong Kampung Dalam, Seberang Padang. Setelah beliau wafat, Perwakilan Raja Indrapura di Padang digantikan oleh kemenakan yang sekaligus juga adalah menantu beliau.
1789-1825 : Sulthan Mohammad Jaya Karma,
Perwakilan Raja Indrapura di Padang yang kawin dengan seorang perempuan bernama Putri Ngetek anak dari Sulthan Mansyursyah. Sulthan ini wafat di Indrapura pada 1827, berkubur di Gobah Tandikat Kampung Dalam Indrapura.
Pada masa Sulthan inilah di Padang disusun Penghulu Yang Delapan Selo, yang berhimpun di Kampung Dalam Seberang Padang. Begitupun Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh, tempat berhimpunnya di Kampung Dalam Binuang. Di Binuang  (Pauh Limo) juga ada Balairungsari, Gobah, dan Kampung Dalam.
1804 –1840 : Sulthan Hidayat (Hidayatullahsyah) 
                      Gelar Sulthan Inayatsyah,
Menggantikan kedudukan Sulthan Mohammad Jaya Karma sebagai Perwakilan Raja Indrapura di Padang. Dan setelah Sulthan Muhammad Jaya Karma wafat (1825) di Indrapura, maka Sulthan Hidayatullahsyah gelar Sulthan Inayatsyah Kerajaan Indrapura, lansung memerintah Negeri Padang, yakni kepada  Penghulu Yang Delapan Selo, begitupun kepada Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh.
1840 – 1860 : Sulthan Mohammad Arifinsyah Gelar Sulthan Muhammadsyah,
Disebut Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah, Kerajaan Indrapura. Sulthan Belindung ini, langsung memerintah Negeri Padang, mengatur Penghulu Yang Delapan Selo, Penghulu Yang Empat Belas, dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh.
1860 –1891 : Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah,
Raja yang terakhir Kesultanan Indrapura, yang disebut juga sebagai Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah. Pada masa beliau, Perwakilan Kerajaan Kesultanan Indrapura di negeri Padang, disebut masa itu sebagai Tuanku Panglima Regent, yang kemudian juga diangkat sebagai  Pucuk Penghulu Yang Delapan Selo di Negeri Padang, oleh Ninik Mamak Delapan Selo di Pandang.
Kedudukan dan hak-hak Kesultanan Kerajaan Indrapura di Negeri Padang, tetap sebagaimana biasa, termasuk Nagari Alam Kerinci, Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi tetap berdaulat kepada Daulat Yang Dipertuan Kerajaan Kesultanan Indrapura.
VI
Sultan Bangsawansyah
Gelar Sultan Harunsyah
Sultan Bangsawansyah Gelar Sultan Harunsyah, lahir dengan nama kecil Harun. Ibunya bernama Putri Lelo Ambun Ratna Kemala Intan Indrapura, adik dari Sultan Zamzamsyah Gelar Sultan Mohammadyaah Kerajaan Indrapura yang memerintah tahun 1600 – 1635 M, menaiki tahta kerajaan waris dari orang tuanya Sultan Jamalul Alam Yang Dipertuan Daulat Gegar Alamsyah, Usli Kerajaan Kesultanan Indrapura Sultan Mohammad dengan permaisuri Putri Diyah Bintang Purnama, Raja Perempuan Indrapura yang berkuasa pada tahun 1560 – 1600 M.
Saudara perempuan dari ibu Harun, yakni Putri Bangun Ratna Cakra Alam Raja Perempuan Indrapura melalui putrinya  Putri Lenggogeni Dewi Alam Raja Perempuan Usli Kerajaan Indrapura kelak menurunkan Sultan Zamzamsyah Gelar Sultan Firmansyah Kerajaan Indrapura yang memerintah pada 1707 – 1737 M. Menurut keterangan Ahli Waris Kerajaan Kesultanan Indrapura, Pangeran Puger dari  Jogyakarta mengakui adanya hubungan kekerabatan Sultan ini dengan Kesultanan Jogyakarta.
Sebagai seorang putra kerajaan, Harun kemudian dinobatkan memangku  gelar kerajaan dengan nama Sultan Harunsyah. Untuk kemudian Harun mengikuti ibunya ke Aceh dan dibesarkan dalam lingkungan istana Kerajaan Aceh semasa kekuasaan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 – 1636 M.
Konon kabarnya Harun sempat menjadi anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat yang kemudian menjadi salah seorang Wazir dalam kelompok yang dipimpin Orangkaya Maharaja Lela. Sementara Orangkaya Maharaja Lela ini adalah bekas salah seorang panglima pengawal Kerajaan Indrapura yang pernah menaklukkan pasukan Aceh dalam sebuah perang tanding.
Sehingga Raja Aceh terpaksa mengadakan ikatan persahabatan dengan Kerajaan Indrapura demi menjaga hubungan baik di masa depan. Hubungan mana kemudian dijalin dalam suatu ikatan perkawinan antara Putri Kerajaan Indrapura dengan seorang putra istana Aceh Darusasalam. Perkawinan tersebut kemudian melahirkan putra tunggal Harun, yang kelak menyandang nama sebagai Sultan Harunsyah Gelar Sultan Bangsawansyah.
Harun  menjadi besar di Aceh, kemudian pulang ke Indrapura dan tidak berapa lama terus pergi ke Minangkabau Pagaruyung. Ia belajar dan menimba pengalaman khusus dari tokoh-tokoh kerajaan Pagaruyung, karib belahannya sendiri. Dibawah bimbingan “bapak”nya Datuk Bandaharo, Tuan Titah Sungai Tarab Darussalam masa itu.
Oleh Datuk Bandaharo Harunsyah ditempatkan pada “Mande Tuo” nya di Tanjung Sungayang, tidak jauh dari Pagaruyung. Ia belajar banyak dari Yang Dipertuan Balai Gudam, yakni Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau, yang pada waktu itu berkedudukan di Istana Balai Gudam, sehingga Raja Alam sering dijuluki sebagai Tuan Gudam, atau Yang Dipatuan Gudam.
Harun tidak bertahan lama tinggal di Pagaruyung, karena suasana yang tidak memungkinkan. Menurut kisah sebuah Tambo Minangkabau, Yang Dipertuan Daulat Raja Nan Sati, sebagai Raja Alam Yang berkuasa waktu itu adalah cucu dari Bundo Kandung dan anak dari Dang Tuanku dengan Puti Bungsu.
Nama kecil dari putra Dang Tuanku Syah Alam ini adalah Sultan Ahmad Dunia menggantikan kedudukan Raja Alam Minangkabau Pagaruyung dari tangan Sultan Seri Alam anak Cindua Mato dengan Puti Lenggogeni dari Sungai Tarab. Dimana Sultan  Seri Alam ini juga memegang tampuk pimpinan sebagai Bandaharo, Tuan Titah  Sungai Tarab Darussalam yang menggantikan kakeknya.
Sementara itu Sultan Seri Alam ini juga tercatat dalam deretan nama-nama Raja yang berkuasa di Aceh Darussalam yang dikabarkan ia meninggal dunia di sana dalam sebuah peristiwa perebutan kekuasaan dalam kalangan keluarga istana. Sultan Ahmad Dunia ditabalkan diatas tahta kerajaan dengan memangku gelar Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sati menjadi raja Alam Minangkabau, dan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Sultan Harunsyah.
Dengan beliau inilah Harun belajar dan menimba pengalaman, di Balai Gudam Melayu Kampung Dalam Pagaruyung, yakni Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sati, Raja Alam Minangkabau yang waktu itu berkedudukan di Balai Gudam Kampung Dalam Pagaruyung.
Sultan Harunsyah meninggalkan Pagaruyung
Pengaruh Aceh yang melemah di Pesisir Barat Minangkabau juga membawa ancaman dari laut yaitu dari pihak Portugis, Kompeni Belanda dan Inggeris yang saling berebut pengaruh, ingin menguasai perdagangan lada dan rempah-rempah dan berusaha menancapkan kekuasaannya di Pesisir Barat Minangkabau melalui politik adu dombanya. Sementara di pedalaman, di Pagaruyung sendiri terjadi kemelut antar Raja Adat dan Raja Ibadat yang berebut pengaruh pula untuk menguasai Raja Alam. Akibatnya kekuasaan Yang Dipertuan Raja Nan Sati ikut menjadi lemah.
Dalam kemelut itulah Sultan Harunsyah berada di Balai Gudam, Pagaruyung. Ia menyimak dan menjadi lebih matang. Tanpa berfikir dua kali, ia pamit dengan Bapak Gudamnya, di Pagaruyung dan dari tempat Mande Tuo-nya di Tanjung Sungayang, Sultan Harunsyah pergi meninggalkan pusat kerajaan Alam Minangkabau, Pagaruyung yang tidak kondusif.
Melalui Kampar dan Kuantan terus ke Siak Sri Indrapura, sebuah kerajaan di pantai timur Sumatra yang merupakan belahan persaudaraan juga dengan Indrapura di Pesisir Barat Sumatera. Dan seterusnya Sultan Harunsyah berlayar menyeberangi samudera lautan luas.
Hanya sebuah caratan kecil yang masih tinggal sebagai sisa reruntuhan dan peninggalan sejarah sebuah Kerajaan yang pada masanya merupakan Kesultanan Tertua di Pesisir Barat Sumataera yang sempat menurunkan raja-raja dan sultan-sultan sebagai karib belahan persaudaraan antara raja-raja kesultanan Islam di kawasan Nusantara ini.
Sultan Bangsawansyah Gelar Sultan Harunsyah berlayar ke laut basa lenyap ditelan gelombang zaman, namun namanya tertulis jelas dalam sebuah Ranji Salasilah Usli peninggalan bekas sebuah Kerajaan Kesultanan Usali Indrapura yang tercatat sebagai: Sultan Bangsawansyah Gelar Sultan Harunsyah Pergi ke Brunei Babussalam, 1625.

No comments:

Post a Comment