Iklan Adsense

Thursday, February 29, 2024

Lembaga Kesultanan Indrapura (Bab 7)

 

Susunan Lembaga
Kerajaan Kesultanan Indrapura
Sejak berdirinya Kerajaan Kesultanan Indrapura, telah terjadi perubahan-perubahan dan perpindahan tempat kedudukan sebagai istana raja. Walaupun tempat tersebut semuanya berada di wilayah kerajaan itu sendiri. Indrapura sekarang terletak di tepi sebuah sungai yang pada zaman dahulu terkenal sebagai pelabuhan samudera tertua di pesisir barat Sumatera, yakni Muara Sakai.
Secara etimologis terdapat beberapa pendapat tentang asal usul nama Indrapura[62]  Indra berasal dari nama dewa, yakni  dewa tertinggi Batara Indra, atau Dewa Indra, Sri Maharaja Indra Dewa. Pura artinya tempat atau negeri. Jadi Indrapura adalah negeri tempat kedudukan Dewa Indra, negeri Sri Maharaja Indra Dewa.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa kosakata Indra berasal dari Indra Sejati, menjadi Indrajati, dan berubah bunyi menjadi Indojati, bermakna raja asli, raja sejati, sementara pura berasal dari puro. Lidah masyrakat Indrapura menyebutnya Indopugho.
Puro artinya kantong atau uncang tempat batu-batu permata  mulia milik raja. Dalam riwayatnya dikatakan puro raja tersebut jatuh ke dalam air, hilang dan tidak ditemukan lagi. Maka air tersebut dengan lokasi tempatnya disebut Air  Puro, yang akhirnya negeri tersebut kemudian berubah menjadi Indopuro, yang artinya Puro Raja, atau Puro Dewa.
Sekarang, Indrapura hanya merupakan sebuah kenagarian di Kabupaten Pesisir Selatan yang dipimpin oleh seorang Walinegeri. Penduduk yang mendiami negeri ini terdiri dari Suku Melayu Asli, yang disebut Melayu Tinggi Kampung Dalam, Melayu Gedang, Sikumbang, Caniago, Tanjung, dan lain-lain suku-suku Minangkabau.
Tetapi juga ada keturunan dari Jawa, seperti Gresik, Tuban, dan Bugis yang telah lebur menjadi masyarakat Indrapura Pesisir Selatan.[63]
Mata pencaharian utama penduduk dikawasan ini antara lain bertani atau berladang dengan berbagai jenis komoditi tanaman seperti padi, palawija, holtikultura serta tanaman-tanaman kelapa, karet, kelapa sawit dan hasil-hasil hutan lainnya. Juga sebagai nelayan, karena daerahnya memang di pinggir laut, tetapi juga pencari kayu dan karyawan industri perkayuan.
1.     Susunan  Pemerintahan
Susunan Pemerintanah Kerajaan Kesultanan Indrapura terdiri dari :
1.     Sultan, atau  Raja.
2.     Perdana Mentri, atau Mangkubumi.
3.     Penghulu Mantri Nan Dua Puluh.
4.     Datuk-Datuk, Pamuncak-Pamuncak, Lareh-Lareh.
5.     Candokio, Cati Bilang Pandai
6.     Imam, Khatib
7.     Dukun Raja, Thabib, Pandai Obat
8.     Panglima, Hulubalang, Panggaho-Panggaho.
9.     Petugas membaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan.
10.            Tukang Jaga pembersihan Gobah.
11.             Tukang Jaga Balairung Sari.
12.             Rukang Jaga Tabuh Larangan.
13.             Juru Tulis Istana. 
14.             Pesuruh Istana.
Raja terakhir kerajaan Kesultanan Indrapura, adalah Sultan Muhammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah, yang memerintah  pada 1860-1891. Sejak awal berdirinya yang tercatat abad IX M sampai akhir abad ke XIX, berarti kerajaan ini berdiri dan mampu bertahan selama 10 Abad sebagai sebuah kerajaan Kesultanan Islam.
Dari sisa-sisa peninggalan sejarah yang telah terkikis habis, hanya tinggal berupa catatan-catatan kecil dari pihak zurriat keturunannya sekarang, sebagai informasi awal dapat diketahui, bahwa ada dua periode perjalanan  kerajaan ini berdasarkan catatan tahunnya yang dapat diketahui dan yang tidak :
Pertama,
Periode Awal, periode Air Puro yang misteri, sejak dari awal sejarah yang dapat diketahui sampai kepada abad IX, yakni masa berdirinya Kerajaan Suwarnabhumi di Sumatera.
          Periode Kedua, yakni pada zaman munculnya keberadaan Islam di Nusantara, sejak awal abad ke 7  sampai abad ke XIII
Periode Ketiga, periode sejak awal abad ke XIII sampai kepada zaman pemerintahan Sultan Jamalul Alam Yang Dipertuan Daulat Sultan Sri Gegar Alamsyah, Usli Kerajaan Indrapura, Sultan Muhammad. Bersama permaisurinya Putri Dyah Bintang Purnama yang kemudian melanjutkan tahta kerajaan sebagai Raja Perempuan. Pemerintahan suami istri ini pada 1560-1600.
Pada zaman pemerintahan Sultan ini tercatat peristiwa besar, yakni lahirnya Perjanjian Segi Tiga di Bukit Sitinjau Laut, yang sampai sekarang tetap sakral, bahkan dikeramatkan oleh ketiga belah pihak tersebut secara tradisi.
Periode keempat, sejak awal abad ke XIII, sampai berakhirnya Indrapura sebagai sebuah Kesultanan yang berdaulat, yakni dengan berakhirnya kekuasaan Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, pada tahun 1891.
Masa sejak abad ke XVI sampai abad ke XIX, yakni selama lebih kurang 3 abad lamanya kerajaan Kesultanan ini bertarung mempertahankan kejayaannya dan menghadapi berbagai gelombang laut, hantaman berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan penjajahan, sampai akhirnya hancur sehancur-hancurnya di tangan kompeni Belanda. Mencatat berbagai peristiwa, menjadi mitos, legenda dan sejarah yang hilang. Namun catatan tahun pemerintahan para raja dan sultan-sultan negeri ini masih tersimpan, dengan nama-nama yang hanya berupa gelar-gelar nama nama Islam belaka.  Tidak diketahui siapa nama asli yang sebenarnya. Tetapi data ini cukup membuktikan kepada kita, bahwa Pesisir Selatan  memang menyimpan berbagai rahasia Misteri Sejarah Masa Lalu.   
Selama 3 abad terakhir negeri ini memiliki raja-raja dan sultan-sultan secara teratur, berusaha bertahan, berjuang, dan berperang, turun temurun menghadapi berbagai konflik dan kemelut, dengan tekad  “biar mati dari pada dijajah Belanda”, telah terbukti dengan nyata. Masih ada peninggalan-peninggalan sejarah sebagai bukti keberadaan dan perjuangan kerajaan ini yang belum terjamah oleh para ahli sejarah, seperti sebagiannya sudah dijelaskan terlebih dahulu, yakni :
a. Silsilah  Kerajaan Kesultanan Turun Temurun.
Sejak awal berdirinya di abad ke IX, terbukanya lembaran baru dalam sejarah Kerajaan Melayu Islam Nusantara. Kerajaan ini sejak bernama Teluk Air Dayo Puro, sampai menjadi Kerajaan Air Puro, kemudian menjadi Kerajaan Kesultanan Indrapura yang memiliki pengaruh besar, disegani, dirindui dan ditakuti, karena menyimpan rahasia kekayaan Pulau Emas,  yang menggerakkan pemburu-pemburu emas berdatangan ke Sumatera.
Raja-raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Indrapura, wilayah dan pandam pekuburan raja-rajanya tercatat secara rapi dalam sebuah manuskrip ranji peninggalan asli kerajaan ini. Ranji ini sekarang masih ada dan dipegang oleh ahli waris Kerajaan Kesultanan Indrapura, dan beliau ahli waris tersebut secara tradisional merupakan Pucuk Adat Kampung Dalam Indrapura, Pesisir Selatan.
b. Lambang Kerajaan 
Berbagai peninggalan sejarah, warisan benda-benda pusaka kerajaan, seperti payung kebesaran, keris, tombak, pedang, seperangkat alat-alat nobat untuk pengangkatan raja atau sultan yang dilakukan di halaman istana. Warna bendera, disamping warna payung kuning keemasan, juga simbol warna hitam merah kuning untuk para penghulu mantrinya, simbol-simbol kerajaan dalam motif  burung garuda, singa, dan kepala naga berjuang, dengan berbagai kaligrafi kalimat Allah, Muhammad menjadi barang-barang yang berceceran dimana-mana. Sebagian masih ada, dan sebagian tidak terselamatkan lagi.
Hanya yang masih menjadi misteri adalah 2 buah peti besi yang konon berisi alat-alat kebesaran kerajaan masih tersimpan dan tersembunyi di Pulau Raja.
d. Balairung Sari
Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari raja dan sultan memiliki balai pertemuan khusus yang dinamakan Balairung Sari. Balairung Sari yang didirikan sesuai dengan tempat kedudukan raja pada saat itu, sehingga terjadi beberapa kali perpindahan, dan pembangunan kembali. Lokasi terakhir bertempat di Kampung Dalam Indrapura, sekarang hanya tinggal sebagai sebuah lapangan saja karena bangunannya sudah tidak ada lagi. Di Balairung Sari ini juga tempat menerima dan tempat pertemuan dengan tamu-tamu kerajaan.
Penganugerahan gelar yang diberikan kepada raja atau sultan-sultan yang baru dilantik, atau dinobatkan. Begitupun orang-orang besar kerajaan yang diangkat dengan jabatan tertentu diberi gelar sesuai dengan gelar dan jabatannya tersebut.
e. Upacara Kerajaan
Upacara Kerajaan  dilaksanakan di halaman Istana, khusus untuk Nobat Raja, pelantikan raja atau sultan.
Upacara pada waktu kematian, perkawinan, dan Hari Raya. Juga ada upacara persembahan dari rakyat kewpada raja atau sultan yang sifatnya membesarkan, menghibur dan menjunjung titah Daulat (menjunjung duli).
Sultan menjadikan agama Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh adat dan hukum adalah menurut Hukum Syarak. Tatacara pemerintahan, hukum dan tatacara adat istiadat diteruskan kepada keturunannya, anak cucunya sebagai pewaris kerajaan, begitupun tentang tatacara pemerintahan, hukum dan adat istiadat kerajaan selalu disempurnakan  sepanjang jalan sejarahnya. Falsafah Kerajaannya berbunyi :
Raja Indrapura adalah Raja Syarak, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah. Bersatu Sultan dengan Rakyat beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam,  ke Awang Tinggi, pergi satu tumbuh seribu.
Sebagai seorang Raja Indrapura, pada zamannya ia adalah seorang yang berpegang teguh dengan ajaran-ajaran hukum  Islam, dengan destar sebagai lambang Syahid Syabilillah, syahid didalam perjuangan menegakkan agama Allah. Tetapi di dalam menghadapi rakyatnya, seorang Sultan lebur di tengah-tengah masyarakatnya, dan Sultan bertindak sesuai dengan Adat yang telah digariskan sebagai undang-undang, dan adat tersebut telah beredar di tengah anak kemenakan sebagai Adat Pusaka untuk pedoman dalam menjalani kehidupan bersama yang tentram, damai,  dan sejahtera. Dengan dasar falsaha hidup yang demikian, walaupun hilang, tetapi akan tumbuh lagi generasi baru yang lebih banyak.
f. Undang dan Adat
Sejak Perjanjian Sitinjau Laut di tahun 1560, yang lebih dikenal sebagai Peristiwa Persumpahan Karang Setia yang telah menjadi lambang adat bagi masyarakat tradisi Kerinci, Jambi dan Indrapura, telah dicantumkan bahwa Indrapura adalah pemegang Undang dan Adat sekali gus mewakili Minangkabau secara penuh dalam perjanjian tersebut,  Jambi dengan Teliti-nya, dan  di Alam Kerinci menjadi  Sako Emas.
Oleh karena itu, yang menjadi dasar pemerintahan di kerajaan Indrapura adalah menjalankan Undang-Undang dan Adat  Minangkabau juga, Raja atau Sultannya memiliki kedudukan khusus sebagai Panglima dan Penguasa Wilayah Pertahanan Pesisir Barat Minangkabau, Sumatera.
Namun, khusus Sultan Kerajaan Indrapura, jelas  memiliki kedudukan istimewa sebagai Raja Syarak, yang kemudian menurunkan gelar-gelar kebesaran, sejak dari  sebutan Khalifatullah, Khalifatun Nabi, Khalifatul Alam, menjadi Raja Alam Minangkabau, disamping adanya Raja Adat dan Raja Ibadat.  Kemudian juga menurunkan gelar-gelar kebesaran dengan  sebutan Daulat Jamalul Alam Sulthan Sri Maharajo Dirajo, Hidayatullah Alamsyah, Muhammadsyah, Firmansyah, Usmansyah, Ahmadsyah, dan lain-lain.
g.  Lembaga Penghulu Mentri
Sultan adalah raja atau kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi dalam Kerajaan Kesultanan Indrapura. Dalam melaksanakan pemerintahannya, termasuk membuat undang-undang dan peraturan,  Sultan dibantu oleh sebuah Dewan Kerajaan yang disebut Lembaga Penghulu Mentri Nan Dua Puluh.
Lembaga inilah yang memilih dan mengangkat Sultan dari calon-calon pewaris kerajaan yang ada. Apabila calon tidak ada, atau dianggap belum mampu, Lembaga ini menetapkan istri Sultan atau kemenakannya sebagai Raja Perempuan, menjelang ada seorang pengganti Sultan yang baru.
Selama dalam kekosongan karena tidak adanya Sultan, ditunjuk seorang wakil Sultan sementara, sedangkan kegiatan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh seorang Ketua Dewan Penghulu Mentri atau Perdana Mentri, dari Lembaga Penghulu Mantri Nan Dua Puluh. Perdana Mentri tersebut dinamakan  Mangkubumi.
h. Penghulu Mantri Nan Dua Puluh
Lembaga Penghulu Mentri terdiri dari dua puluh orang penghulu-penghulu yang mewakili sanak kemenakannya, karena ia dipilih dan diangkat oleh kaum dalam pesukuannya. Sebagai Penghulu Mantri mereka dipilih oleh sebuah Majelis Kerapatan Tinggi yang bersidang untuk itu,  kemudian diangkat dan ditetapkan oleh Sultan.
Majelis Kerapatan Tinggi tersebut anggotanya terdiri dari utusan-utusan Datuk-Datuk Pamuncak, Utusan Lareh-lareh, maksudnya utusan Lareh Bodi Caniago dan Lareh Koto Piliang, Candokio atau Cati Bilang Pandai, Imam, Khatib, atau Tuanku-Tuanku Sieh (Syeikh), dan lain-lain. Jumlahnya tetap sebanyak 20 orang Penghulu Mentri.
Majelis ini sejak terbentuknya Penghulu Mantri Nan Dua Puluh, jarang dan boleh dikatakan tidak bersidang lagi secara rutin, kecuali ketika dalam kedaan darurat. Itupun sudah dilaksanakan oleh Penghulu Mantri Nan Dua Puluh dengan mengikut sertakan yang lain-lainnya seperti tersebut di atas.
Hal ini disebabkan, karena secara tradisi, apabila seorang Penghulu Mentri meninggal dunia, maka secara adat ia telah digantikan oleh anak kemenakannya yang terpilih dalam kaumnya, kemudian diajukan kepada Sultan sebagai pengganti mamaknya yang terdahulu. Sultan melantik dan mengukuhkannya sebagai Penghulu Mantri yang baru.
Demikian seterusnya secara turun temurun menurut adat. Dalam tugasnya Penghulu Mantri Nan Dua Puluh dibagi atas 3 pihak  yang terdiri dari : Pihak Enam Di Hulu, Pihak Delapan Di Tengah, dan Pihak Enam Di Hilir.
Masing-masing pihak bertanggung jawab dalam pengaturan, pengelolaan, pengawasan  dan pengmanan wilayahnya masing-masing dengan rincian tugas sebagai berikut :
Pihak Pertama,
Penghulu Mantri,  Nan Enam Di Hulu,
Menjaga dan  mengawasi hutan rendah dan hutan tinggi, tempatnya berdinding batu, berkampung kijang, berayam kawah, mempunyai buah masam dan buah manis serta tiap barang yang didapati dari dalam tanah adalah Hak Sultan (Hak Kerajaan Kesultanan).
 Di dalam masa perang, jika tarahan datang dari daratan, Penghulu Mantri Nan Enam Di Hulu yang bertanggung jawab menghadapinya  bersama seluruh rakyatnya.
 Walau berenang di laut darah, berjejak di gunung bangkai tidak dibenarkan  meninggalkan  medan perjuangannya.
Pihak Kedua,
Penghulu Mantri,  Nan  Delapan  Di Tengah.
Jambo Kiri, Jambo Kanan, menjaga keselamatan Sulthan dan menyampaikan perintah-perintah Sulthan kepada Penghulu Mantri Nan Dua Puluh, sampai kepada rakyatnya.
Dan jika negeri dalam mengahadapi bahaya atau peperangan maka yang menjadi hak dan kewajiban seluruh isi negeri adalah:  Duduk Meraut Ranjau, Tegak Meninjau Jarak.
Kalau perang bergiling peluru, kalau ucok lawan berdamai. Berenang di laut darah berjejak di gunung bangkai, kesudahan berdamai juga.
Pihak Ketiga,
Penghulu Mantri,  Nan Enam Di Hilir,
Menjaga dan mengawasi Pasisir Nan Panjang, pesisir pantai, menjalankan undang-undang Hak Dacing Pengeluaran, Ubur-Ubur Gantung Kemudi, Ke Laut Berbunga Karang, Karang Penuh Penangkap Ikan, barang yang ganjil berupa mestika, batu permata diserahkan kepada Sultan menjadi Hak Kesultanan.
Jika tarahan datang dari lautan, maka Mantri nan Enam Di Hilir menghadapi bersama rakyatnya.
i. Imam Khatib
Sesuai dengan  statusnya, bahwa kerajaan Kesultanan Indrapura adalah kerajaan yang berlandaskan agama Islam, yakni Hukum Syarak. Oleh karena itu, setiap kaum  persukuan, sesuai dengan jajarannya masing-masing dipimpin pula oleh Imam, Khatib, Sieh-Sieh, (maksudnya Tuanku-Tuanku Syeikh), Malin, Labai dan Maulana.
Khusus bertugas mengisi ruhani dan membimbing sanak kemenakan (rakyat) dalam soal-soal agama Islam. Dan ini tidak dicampur adukkan dengan kegiatan-kegiatan Sultan selaku kepala pemerintahan kerajaan. Pembinaan ruhani Islam berjalan lancar berabad-abad lamanya.
Sampai kemudian terganggu bahkan hancur akibat penjarahan dan penjajahan asing bersimaharajalela di sepanjang pantai pesisir barat Sumatera. Sehingga tokoh-tokoh ulama Islam yang terkenal kemudian mengungsi dan pindah tempat berjuang dan berdakwahnya, seperti ke Natal, Barus, Bengkulu, Aceh, bahkan ada yang ke seberang lautan, memutar pelayaran mereka ke berbagai pelosok kepulauan Nusantara ini.
Indrapura pada masa zamannya, banyak dikunjungi oleh pendatang-pendatang dari berbagai tempat dan daerah sekitarnya seperti Muara Labuh, Kerinci, Pariaman, Bengkulu, Kubung Tiga Belas, Sumpur Kudus, bahkan dari Pagaruyung sendiri. Seperti diketahui dalam riwayatnya banyak raja-raja Pagaruyung yang meninggalkan tahtanya kemudian berangkat ke Indrapura untuk memperdalam nilai-nilai keruhanian Islam. Bahkan ada yang tinggal menetap dan tidak kembali lagi.
Begitupun tercatat banyak pendatang dari Jawa Timur, seperti Gresik dan Tuban, serta dari  Banten, Sunda Kelapa, Bugis, Makasar dan Toraja. Semua pendataang ini meninggalkan bekas-bekasnya di Indrapura khususnya, Pesisir Selatan Sumatera Barat pada umumnya.
Begitupun dengan Kerajaan Kesultanan Solo dan Jogyakarta, memiliki hubungan kekerabatan dan kisah tersendiri antara zurriat keturunan mereka. Hal ini terbukti dari perjalanan pribadi (tidak resmi) almarhum Sultan Hamengku Buwonbo IX, yang menelusuri pantai pesisir Selatan beberapa tahun sebelum beliau meninggal dunia.  Sebuah gobah (makam pekuburan) yang terletak di Ujung Kapalo Koto, Seberang Padang, adalah makam seorang keluarga keturunan Kraton Solo yang tewas dalam penyerangan benteng Belanda bersama-sama rakyat Pauh di Padang.
j. Dukun Raja 
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) dukun diartikan sebagai orang yang mengobati, memberi jampi-jampi, mantra, guna-guna dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Dalam pekerjaannya ada dukun beranak, dukun klenik, dukun tenung, dukun guna-guna dan sebagainya.
Berdasarkan pemahaman sekarang seorang yang berprofesi sebagai dukun, dipandang sinis oleh masyarakat karena pemahaman arti yang keliru saat ini, apalagi kalau diingat banyak dukun yang kedengarannya angker, misteri, sehingga mengundang berbagai prilaku negatif, kosa kata dukun bergeser ke makna negatif, klenik, yang suka mengerjain orang. Bahasa Melayu Malaysia menyebutnya Bomo.
Tetapi makna Dukun pada zamannya artinya jauh lebih luas dari pada Tabib yang diambil dari bahasa Arab, atau Pandai Obat. Makna ini berbaur menjadi satu, seperti dukun itu adalah tabib, dan pandai obat. Dukun adalah panggilan terhormat tidak saja di Indrapura, tetapi juga di Minangkabau, bahkan di Melayu Nusantara untuk  seorang tokoh yang dianugerahi hidayah memiliki kemampuan spritual tinggi, akibat kedekatannya dengan masalah-masalah ketuhanan yang berorientasi kesucian, kedermawanan, dan ketaqwaan, dan memiliki berbagai perbendaharaan ilmu dunia dan akhirat.
Martabat gelar dukun pada awalnya adalah gelar terhormat dan bertuah. Itulah sebabnya, untuk sebuah kerajaan tersedia sebuah jabatan, yang dinamakan Dukun Raja, yang tak bisa ditafsirkan sama dengan Mentri Kesehatan, atau dokter zaman sekarang.
Karena Dukun Raja dalam pemahaman Kerajaan Kesultanan Indrapura, tidak hanya menyangkut persoalan kesehatan raja atau keluarga raja dalam artian badani, tetapi jauh dari pada itu juga menyangkut dengan kesehatan kerajaan, kesehatan wilayah pertanian, perikanan, ekonomi rakyat, struktur kekuasaan, dan pemerintahan, dan lain-lain.
Seorang Dukun Raja bergerak di semua lini aktifitas Kerajaan, demi kestabilan, keamanan, dan kesejateraan anak kemenakannya. Dukun Raja adalah penasehat spiritual ahli di bidangnya masing-masing. Pada zamannya,  kedudukan dukun raja Indrapura adalah di Lunang, yang juga merupakan sebuah komplek pandam pekuburan khusus, dan ditandai dengan sebuah Rumah Gadang tempat kediamannya. Pemimpin negeri Lunang  pada zamannya juga disebut Raja Nagari Lunang, dengan gelar Raja Alam Lunang.
k. Panglima, Hulubalang, Penggaho-Penggaho
Ada sementara pendapat bahwa  Minangkabau  menyusun kekuatannya dengan  balatentara-balatentara yang banyak.  Minangkabau sebagai wilayah alam memang tidak memilikinya, karena sistem yang dikembangkan adalah sistem pertahanan budaya. Tetapi disekitar luhak yang disebut rantau terdapat kerajaan-karajaan yang memiliki benteng benteng atau kubu-kubu  dan sasaran-sasaran pertahanan rakyat.
Rakyatlah yang mempertahankan kedaulatan negerinya terhadap berbagai serangan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar. Oleh karena itu pada zamannya di setiap negeri terdapat sasaran-sasaran dan pamedanan untuk berbagai kegiatan latihan beladiri bagi mempertahankan diri, keluarga, kaum, korong kampung dan nagari dari setiap kemungkinan ancaman yang datang.
Secara adat disebut “parit pagar negeri”. Dalam adat, adalah sebuah kemuliaan bila anak kemenakan, anak negerinya selalu melakukan kegiatan-kegiatan dalam upaya memperbaiki “parit pagar negeri” nya ini. Demikian pula dengan kerajaan Kesultanan Indrapura, dalam mempertahankan hak dan wilayahnya diperlukan pengawal-pengawal yang tangguh dan berkualitas.
Tersebutlah beberapa nama, diantaranya memiliki kelebihan-kelebihan sendiri sebagai panglima-panglima yang berani, satria, jujur, taqwa dan cerdas. Sejarah tidak mencatatnya, karena memang kita tidak banyak  mengetahuinya, kecuali sedikit.
Hal ini disebabkan juga karena para hulubalang dan penggaho-penggaho tersebut juga telah lebur bersama-sama kedalam kesatuan-kesatuan pertahanan rakyat di wilayah negerinya masing-masing. Bahkan diantaranya ada yang menjadi panglima-panglima di daerah lain, seperti di Aceh, Deli, Natal, Barus, sampai ke Meulabuh, kemudian juga sampai ke Malaka, dan Malaysia.
Sehingga yang terlihat hanya beberapa pengawal-pengawal kerajaan saja.  Namun berangkat dari informasi sejarah yang sedikit itu, ternyata banyak pula hal-hal yang pantas untuk menjadi perhatian semua pihak di negeri ini. Riwayat-riwayat perjuangan mereka perlu dicatat dan diwariskan kepada generasi berikutnya, walaupun itu hanya berupa catatan-catatan peristiwa yang dituturkan kembali oleh para penuturnya sebagai sumber sejarah tepatan, untuk tidak lenyap begitu saja.
Sejarah tepatan perlu digali,  bukan untuk dimusnahkan. Seperti sebagian  pendapat mengatakan bahwa seakan-akan mereka yang meneliti dan menulis sejarah dari sumber asing sajalah yang betul dan ilmiah. Pada hal, banyak nilai-nilai warisan yang masih tinggal yang dapat dijadikan sumber sejarah lokal tepatan.
Bagaimanapun pahitnya, Indrapura merupakan sosok sejarah yang tak terpisahkan dari keberadaan sejarah Minangkabau,  di Sumatera Barat, yang memperlihatkan semangat juang dan perlawanan yang dahsyat terhadap setiap bangsa asing yang ingin menggerogoti negerinya. Menelusuri sejarah Minangkabau, tanpa menoleh kepada keberadaan sejarah Indrapura, adalah sebuah perbuatan yang naif.
Sebuah cermin suri tauladan, barangkali perlu di angkat dari khazanah perbendaharaan sejarah yang tenggelam dari Indrapura ini, bukan menyingkirkannya.
Kita tidak dapat mengadili keberpihakan oknum-oknum kerajaan mereka pada zamannya terhadap  Portugis, Inggeris, atau Belanda yang datang justru sengaja untuk memporak porandakan negeri ini, kalau sumber-sumber sejarah hanya berdasarkan informasi sepihak saja.
Seperti melihat keberadaan Aceh sebagai  sebuah penjajahan di Minangkabau ini, hanya berkat keberhasilan taktik adu domba Kompeni Belanda. Pada hal Aceh dan Minangkabau pada zamannya justru saling isi mengisi. Sama-sama berjuang melawan penjajahan asing di negeri ini.
Sejauh manakah sejarawan bisa melihat dan membentangkan kenyataan Rumah Gadang Serambi Aceh di Minangkabau? Orang-orang darek selalu menganggap pasisie telah dijajah Aceh, karena Rumah Gadangnya tidak lagi bertanduk, tetapi memakai Serambi Aceh. Sementara Rumah Gadang Gajah Maharam, dan Rumah Gadang Serambi Papek, juga  tidak terjelaskan. Apakah itu, Istano Basa, Balai Gudam, Balai Bungo, dan Balai Janggo dalam konteks sejarah?  Sebuah “situs” sejarah yang barangkali tidak dipahami lagi, kecuali sekedar nuansa glamournya.
Tradisi Minangkabau mengatakan, jika ingin mengeruk haruslah sehabis gaungnya (lobangnya), jika ingin memegang (ma-awai) lakukanlah dengan sehabis rasa dan periksa. Kalau belum begitu berarti : Cinta mamang (bingung) pariso (telaah penelitian) ragu-ragu, paham berbisik dalam batin, sakik anggoto katujuahnyo.
l. Petugas membaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan
Pembaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan memiliki kedudukan tersendiri dalam kerajaan  Kesultanan Indrapura.  Ini berarti bahwa pemeliharaan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan sendiri telah menjadi perhatian kerajaan, sehingga dengan demikian tidak mudah untuk dianggap dongeng, atau legenda saja.
Kerajaan Kesultanan Indrapura memiliki ahli-ahli sejarah, yang pada saat-saat tertentu dibacakan dalam kalangan keluarga istana dan karib kerabat yang menghadiri upacaranya.
Di dalam Sejarah Melayu Pembaca Pau-Pau ini disebut Pembaca Ciri, bernama Bat. Dari anak cucunya kemudian asal orang membaca ciri sejak dahulu kala. Berarti di setiap kerajaan ada ahli sejarah yang mengabarkan dan membacakan Sejarah Kerajaannya masing-masing.
Di Minangkabau, khususnya di Pesisir Selatan terkenal  orang-orang yang ahli sebagai Tukang Kaba, Pembaca Kabar Berita Sejarah, yang kemudian beralih profesi sebagai tukang rabab atau tukang dendang karena tidak menguasai lagi jalannya  Cerita Sejarah.
Pada hal Tukang Kaba-Tukang Kaba ini berasal dari keturunan Ahli Sejarah,  yakni Pembaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan.
m.  Tukang Jaga
Ada tiga Tukang Jaga dalam kerajaan dengan tugas pokok utama sebagai Tukang Jaga Pembersihan Gobah, Tukang Jaga Balairung Sari,  dan  Tukang Jaga Tabuh Larangan.
Gobah, adalah tempat pemakaman  utama raja atau sultan, dari sebuah komplek pemakaman atau pendam pekuburan, dianggap keramat oleh keluarga dan anak cucunya bahkan oleh masyarakat sekelilingnya yang mengetahui hal ihwal raja atau sultan tersebut semasa hidupnya. Karena memiliki  “sakti”.
Karena itu, komplek harus dijaga, dipelihara dan dibersihkan . Demikian pula dengan Balairung Sari dan Tabuh Larangan yang sewaktu-waktu harus dibunyikan. Karena Tabuh larangan memiliki ketentuan tersendiri dalam membunyikan atau menabuhnya.
Ada pesan-pesan tertentu yang disampaikan lewat irama dan bunyi tabuh tersebut. Karena itu tidak semua orang bisa melakukannya, kecuali Tukang Jaganya.
n. Juru Tulis dan Pesuruh Istana
Sebagai sebuah kerajaan yang memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri, Kesultanan Indrapura memiliki staf administrasi yang dinamakan Juru Tulis dan Pesuruh Istana.  Jabatan ini secara sederhana  punya pengertian sempit, kalau dilihat dari sudut pandang pengertian sekarang.
Apabila kita kembalikan pengertian kepada zamannya, dapat kita pahami bahwa Juru Tulis dan Pesuruh Istana bukanlah jabatan sederhana saja. Barangkali dapat kita analogikan dengan staf pemerintahan zaman sekarang. Seumpama orang-orangnya adalah para ahli kerajaan, ahli pemerintahan, kurir, intelijen, dan petugas-petugas istana yang  dididik dan diangkat khusus untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari secara administratif.
Sehingga dapat diduga bahwa pejabat-pejabatnya adalah dari kalangan keluarga istana sendiri, penghulu-penghulu, Tuanku-Tuanku  Malin, Cenedekia, dan para ahli-ahli lainnya sesuai dengan bidangnya. Dan semuanya itu disebut sebagai Juru Tulis dan Pesuruh Istana yang mengabdi bagi kelancaran urusan-urusan pemerintahan di Istana. Dapat diselaraskan dengan pengertian Abdi Dalem di  Kraton Jogyakarta.
2.  Tempat Kedudukan Raja dan Sultan
Tempat Kedudukan Raja dan Sultan, dimaksudkan itu adalah tempat pesemayaman dan Ustano serta  Gobah Kedudukan Raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura, dan merupakan hak wilayah Raja dan Sultan-Sultan sampai kepada ahli warisnya turun temurun. Diantaranya  yang penting dan tecatat adalah :
Bismillahirrahmanirrahim
Adapun Tujuh Kedudukan Raja dan Sultan  yaitu :
1. Gobah,  di Pulau Rajo, Teluk Air Pura
2. Gobah,  di Pelokan Hilir dan Pelokan Mudik,
3. Gobah,  di Tanikek (Tandikat),
4. Gobah,  di  Lubuk Aro,
5. Gobah,  di  Pungguk Luar dan Pungguk Tinggi
6. Gobah,  di  Silaut, dan
7. Gobah,  di  Gunung Merapi.
Gobah tersebut, merupakan situs  makam dan pandam pekuburan Raja-Raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Usali Kesultanan Indrapura yang perlu dijaga dan dipelihara kelestariannya. Disamping itu menurut catatan dan keterangan yang diperdapat, makam-makam dan pandam pekuburan Raja-Raja Kerajaan Kesultanan Indrapura juga terdapat di berbagai tempat yang perlu ditelusuri kebenarannya.  
Disamping makam Raja-Raja pertama di Teluk Air Pura, juga terdapat di Pulau Lompat Kijang disebut juga Pulau Beringin, dan  di Lubuk Betung Muara Parsyah. Kesemuanya itu adalah Tepat Makam Keramat, bukti peninggalan sejarah otentik,  yang walaupun sampai sekarang belum diketahui, apakah ada tulisan pada batu mejannya atau tidak, namun semuanya memiliki keterangan dan bukti sejarah yang diam, selama ini.
3.  Hak Hak  dan Wilayah Kerajaan Kesultanan Indrapura.
Bismillahirrahmanirrahim.
Ketentuan Hak-Hak.
Adapun barupo tanah-tanah kariang dan tanah-tanah basah dan pulau-pulau, yaitu Pulau Rajo-Pulau Pasumpahan di muko Pasir Gantiang, Pulau Putri dekat Muaro gadang, Tanah Gobah, Tanah Kampuang Dalam, Kampuang Hulu, Tanah Pelokan Hilir dan Pelokan Mudik Indopuro, Tambang Emas di Pangkalan Jambu Jambi dan Gunung Mas Urai dan Pendung Semerup Kerinci dan di Lebung Tandai Bangkahulu, Taratak Air Hitam, begitu juga tanah basah dan tanah kering di Indopuro. Begitu juga tanah kering dan tanah basah di Negeri Tigo Lurah, Tapan, Lunang, Silaut. Kerinci Rendah, Kerinci Tinggi, dan Bandar Nan Sepuluh, sampai ke Air Bangis dan di Padang.
Peninggalan ini adalah dalam wilayah Kerajaan Indropuro dan Muko-Muko. Berwatas:
Sebelah Utara dengan Sikilang Air bangis,
Sebelah Selatan dengan Teratak Air Hitam sampai ke Ketaun Urai,
Sebelah Timur Durian Ditakuk Rajo, Pangkalan Jambu Jambi.
Di daerah Bandar Nan Sepuluh dan Rajo Nan Tigo Kedudukan, Salido, Bayang Pulut-Pulut, dan Tarusan .
Sebelah Barat, Lautan Samudera Pesisir Nan Panjang. Daerah Tiku Tiagan, Sasak Mandiangin, Pauh Koto Tangah dan sekitarnya.
Dan sampai ke Singapura, Johor, Malaka, dan Negeru Sembilan, Serawak dan Barunai Babussalam, Banten, Gunung Serang dan Yogyakarta, dan Surakarta, balahan persaudaraannya.[64].
–         Barang-barang Pusaka Kebesaran 
Bismillahirrahirrahmanirrahim
Ketentuan hak-hak Kerajaan Indropuro yang ditarimo dan diwarisi turun temurun oleh Sultan-Sultan Kerajaan Indropuro sampai kepada Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah dan dilimpahkan sampai kepada ahli warisnyo dan begitupun hak-hak yang dikuasai dari Sultan-Sultan Kerajaan Indropuro kepada perwakilan Rajo Indropuro di Padang, Sultan Jaya Karma Gelar Sultan Firmansyah. Hak-hak di Indropuro :
1.     Dua buah,   Payung Kuning Besar
2.     Dua buah,  Pedang Berhulu Emas, bersarung Emas
3.     Empat buah,  Pedang Berhulu Perak, bersarung Perak
4.     Satu buah,  Rencong Keramat  berhulu Perak  bersarung Perak
5.     Empat buah,  Carano Perak
6.     Empat buah,  Tombak Janggut Janggi
7.     Empat buah,  Pinggan bertatah permata mutu manikam
8.     Satu buah,  Carano Emas
9.     Satu buah,  Al-Qur’an Tulisan Tangan
10.     Dua buah,  Mundam Emas
11.     Dua buah,  Mundam Perak dan beberapa helai kain beludru Sutera Cino
12.     Dua buah,  Guci bernago buatan Cino
Adapun barang kebesaran ini, sebagian berasal dari persembahan Aceh kepada Kerajaan Indropuro :
1.  Satu pucuk,  Meriam Besar
2.  Empat pucuk,  Meriam Kecil
3.  Empat buah,  Telur Buraq
4.  Empat buah,  Telur Garuda
5.  Enam buah,  Keris Kesaktian
6.  Empat puluh buah, macam-macam Mantiko
7.  Satu buah,  Meriam Kecil Keramat
8.  Dua buah,  Tombak Keramat
9.  Tiga buah,  Rencong Kesaktian

10.Dua buah,  Tongkat Keramat

11.Empat buah,  Labu Kendi dari Batu Giok
12.Dua buah,  Meja Marmar Batu Pualam Giok
13.Dua buah,  Peti Besi
14.Dua buah Bedil,  dan lain-lain barang biasa.
Diantara barang-barang pusaka yang menjadi ketentuan hak-hak Kerajaan Kesultanan Indrapura, diterima dan diwarisi turun temurun oleh Sultan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura, sampai kepada  Sulthan Mohammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah, namun tidak bertemu lagi[65],  antara lain :
 2 (dua) buah Payung Kuning Besar.
 4 (empat) buah pedang berhulu perak bersarung perak.
2 (dua) buah Pedang bedahulu Emas bersarung Emas.
1 (satu) buah Rencong Keramat berhulu perak bersarung perak.
4 (empat) buah  Carano Perak.
4 (empat) buah Tombak Janggut Janggi.
4 (empat) buah Pinggan bertatah permata mutu manikam.
1 (satu) buah Carano emas .
2 (dua) buah Mundam Perak.
2 (dua) buah Guci bernago buatan Cina.
Barang-barang pusaka tersebut adalah sebagian saja, dari barang kebesaran Kerajaan Kesultanan Indrapura, sebagai bukti sejarah yang amat berharga, dari sekian banyak benda-benda sejarah, mestika dan permata, sampai kepada  telur Garuda dan lain-lainnya.
                       

No comments:

Post a Comment