Iklan Adsense

Thursday, February 29, 2024

Karang Setia (Kesultanan Indrapura)

 

Karang Setia
1.   Karang Setia Penghulu Mantri
Bunyi Karang Setia, Isi Sumpah  Penghulu Mantri Yang Dua Puluh, dengan Sultan Kerajaan Indropuro di Balairung Sari di Pulau Raja, Pulau Persumpahan dan di Taman Indropuro.
Bismillahirrahmanirrahim
Selama negeri dihuni selama air disauk selama ranting dipatah, setinggi langit sedalam bumi, kami Penghulu Mantri Yang Dua Puluh yang terdiri dari Tiga Pihak :
Pihak  Enam Di Hulu
Pihak Enam Di Hilir
Pihak Delapan Di Tengah
Sampai kepada Ahli Waris kami turun temurun, bersumpah bahwa kami akan tetap setia menepati janji, menjunjung titah dan menjalankan perintah Daulat Yang Mulia Yang Dipertuan Sultan-Sultan dalam Kerajaan Indropuro sampai kepada Ahli Warisnya pula yang turun temurun.
Apabila kami Penghulu Mantri Yang Dua Puluh sampai kepada Ahli Waris kami nanti di kemudian hari, mungkir tidak menepati janji, akan dimakan Biso Kawi Alam Tigo Jurai, dikutuk anak Rajo-Rajo, disumpah oleh yang sati-sati, nenek moyang Daulat Kerajaan Indropuro.
Maka ka-ateh tidak ba-pucuk, ka bawah tidak ba-urek, di tengah-tengah dilarik kumbang, hidup bak karakok di ateh batu, padi ditanam lalang tumbuh, rupo elok hatinyo gilo.
Pada saat Karang Setia Persumpahan ini, Penghulu Mantri Yang Dua Puluh Indrapura di beri tanda dan isyarat pada Saluk Kebesaran Adat-nya, ialah Ikek yang merupakan ikatan sebagai perlambang sejarah, yang diwarisi turun temurun oleh Penghulu Mantri Yang Dua Puluh, tidak lapuk di hujan tidak lekang dipaneh, yang terdiri dari :
Pihak Delapan Di Tengah diberi kebesaran :
Ikek Kuniang, Alam Kuniang, Perisai Kuniang, memberi isyarat, terbujur mayit di tengah, kuniang tanah penggalian, yang Adat Pusaka dan Raja/Sultan tetap dipertahankan.
Mempunyai tugas menghubungkan dan menyampaikan berita dari hamba rakyat kepada Perdana Mentri dan Sultan, luar dan dalam.
Pihak Enam Di Hulu, diberi berkebesaran :
Ikek Merah, Alam Merah,  Perisai Merah, menjadi tanda, berenang dalam lurah darah, berpijak di atas bangkai, yang Adat Pusaka  dan  Raja/Sultan  tetap  dipertahankan.
Mempunyai tugas untuk menjaga musuh dari darat  atau musuh dari gunung.
Pihak Enam Di Hilir, diberi angkatan kebesaran :
Ikek Hitam, Alam Hitam, Perisai Hitam, memberi hikmah, Hitam menjadi puntuang, hangus menjadi arang. Yang hitam asap bedil, Adat Pusaka dan Sultan tetap dipertahankan. Mempunyai tugas untuk menjaga bajau-bajau / musuh  dari laut.
Persumpahan ini bertempat di Pulau Raja dan di Taman Indrapura. Maka Penghulu Mantri di beri pangkat kebesaran Adat,  bergelar  Rangkayo,  dengan hikmahnya :
Kayo dengan Akal Budi,
Kayo dengan Sanak Kemenakan,
Kayo dengan Mas dan Perak,
Bicaranya bisik,
Katanya didengar oleh kaumnya.
Gelar Rangkayo ini, mahal tidak dapat dibeli, murah tidak dapat dimintak.  Bersifat merata, berat sama-sama dipikul, ringan sama-sama dijinjing,  sehina semulia, rukun dan bersatu. Tuah Nan Sekato, Cilako Nan Besilang. Musyawarah dan mufakat menurut : Alua jo Patuik, Surih jo Barih, Bajanjang naiek Batanggo turun. Tidak ado kusut nan tidak selesai.Tidak adoh keruh nan tidak jernih.
Pusat jalo kumpulan ikan,
Pucuk bulek Urek tunggang,
Gantiang yang memutus,
Biang yang menebuk,
Keris yang sakti,
Tombak yang tajam,
Perisai yang biso,
Tongkat yang keramat,
adalah,
Daulat Yang Dipertuan
Sultan Kerajaan Indrapura.
IX
Tokoh Tokoh
1.  Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim
Adalah Yang Dipertuan Daulat Maharaja Nan Sakti yang naik tahta sekitar tahun 1407 M,  kembali menyatukan wilayah kerajaan yang cerai berai setelah runtuhnya kemaharajaan Suwarnabhumi di Pulau Emas Sumatera.
Pada masa beliau sebuah peristiwa penting yang perlu dicatat adalah kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi, Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama besar penyebar agama Islam,  konon berasal dari Khasan di Iran. Namun ada yang berpendapat bahwa ulama ini berasal dari negeri Chermen di India, bahkan ada yang mengatakan dari Gujarat, India.
Sir Thomas Stamford Rafles[66] di dalam bukunya History of Java terbitan  tahun l8l7 mengungkapkan tentang keberadaan seorang ulama besar  penyebar agama Islam yang berasal dari Khasan (di Iran).  Asal usul beliau dari anak  cucu  Sayidina Zainal Abidin  bin Husain bin Ali  r.a.
Ulama besar ini, yang hidup pada akhir abad ke 13 sampai awal abad ke 14 M adalah guru utama dari Tuanku Maharaja Nan Sakti, Yang Dipertuan Daulat  Raja Alam Minangkabau yang berkedudukan di Balai Gudam Pagaruyung,  dan   kaum kerabat istana  dalam soal-soal kehidupan beragama, yang kemudian menata kerajaannya secara bertahap sesuai dengan hukum-hukum, dan nilai-nilai ajaran Islam, kendatipun agama Islam belum merupakan agama resmi yang dianut kerajaan.
Tetapi nama-nama dan gelar-gelar Islam mulai diterapkan dalam kalangan kerajaan dan kaum adat, seperti Imam Ibrahim, Khatib Syamsuddin, Makhdum Ibrahim, Malik Ibrahim, Malin Maulana, dan lain.
Pada masa kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi ke Minangkabau, di sekitar lereng Gunung Marapi Pariangan sebenarnya sudah banyak di kalangan  penduduknya yang memeluk agama Islam, karena sebelumnya sudah ada penyebar-penyebar agama Islam yang berdatangan ke negeri di sekitar lereng gunung Merapi tersebut. Apalagi kalau diingat penduduk di pusat Pulau Perca sudah berkenalan dengan agama Islam sejak abad ke 7 M. [67]
Namun kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi menjadi penting karena kehadiran beliau dapat sedikit meredakan berbagai perselisihan  paham tentang berbagai aliran-aliran yang berkembang saat itu, khususnya kehadiran beliau dapat memantapkan kalangan atas keluarga raja-raja Pagaruyung dalam melaksanakan ajaran syariat agama Islam.
Bahkan atas anjuran Tuanku Maharaja Sakti, Tuanku Syaikh Maghribi diminta pula untuk berdakwah mengislamkan raja-raja Majapahit di Jawa. [68]
Untuk itu  beliau Tuanku Syaikh Mahgribi didampingi oleh kakak kandung Tuanku Maharaja Sakti sendiri, yakni Dewang Bonang Sutowano (Sang Hiyang Wenang Sutrawarna). Di Sumatera lebih dikenal sebagai Raja Sutra ( Rajo Suto), juga merupakan murid utama  Tuanku Syaikh Maghribi. Beliau  selalu ikut mendampingi gurunya dalam  perjalanan  dakwahnya, mengikutinya sampai ke Gresik.
Barangkali   Raja Sutra  inilah yang dikenal di Jawa sebagai   menikah dengan Putri Ratna Kemala (Puti Reno Kumalo), memperoleh putra putri yakni Dewang Pati Rajowano (Pati Rajawane) dan  Dewi Sri Megowani yang kemudian lebih terkenal dengan nama kebesarannya Putri Kahyangan.
Dewang Pati Rajowano, kelak juga mengikuti Tuangku Syaikh Maghribi ke Gresik, dan kembali lagi ke Sumatera untuk kemudian menghadapi perang dengan Cina, sampai ke Kerinci. Di Kerinci disebut namanya sebagai Radin (Raden) Serdang  dan sebagai seorang pewaris kerajaan dan Mubaligh Islam lebih dikenal dengan nama Sultan Maharajo Hakikat, kakak sepupu dengan Putri Panjang Rambut, Mangkuto Alam Minangkabau dengan panggilan kebesaran Bundo Kanduang, Rajo Alam Minangkabau.
Menurut Tambo Radin Serdang yang disimpan oleh M.Rasyad Depati Muaro Langkap Tamiai, dikatakan bahwa :
Sultan Maharaja Hakikat keturunan Minangkabau di Pagaruyung yang dilepas ke Kerinci untuk menyebarkan Islam. Ia sampai dinegeri Tamiai Kerinci, dan ikut membantu perang melawan Cina Kuantung yang datang menyerang dari negeri Sungai Ngiang Bengkulu. Sultan Maharaja Hakikat menetap di Tamiai dengan nama Radin Serdang, kawin dengan anak Bagindo Sibaok, Segindo Tamiai (Raja Tamiai).
Kemudian ia pergi ke Gresik, kawin dengan seorang putri Cina peranakan, beranak seorang perempuan yang kawin dengan Tuanku Barakat (Si Barakat). Tuanku Barakat adalah seorang Syaikh yang datang dari tanah Arab, dan dari perkawinannya dengan putri kandung  Sultan Maharaja Hakikat beranak seorang putra dan diberi gelar kehormatan yang sesuai dan sama dengan gelar-gelar kehormatan Islam yang  dijunjung Sultan-Sultan dari Kesultanan Kerajaan Indrapura, Penguasa Pesisir Barat Minangkabau yakni Sultan Ahmad gelar Sultan  Muhammadsyah.[69]
Konon kemudian menurunkan Raja-Raja yang bergelar Sultan pula di Brunei Darusalam.
1.  Bundo Kanduang, Puti Panjang Rambut
Tuanku Maharaja Sakti dalam perkawinanya mempunyai sepasang anak, masing-masingnya Putri Panjang Rambut (II), kelak tercatat dalam sejarah sebagai seorang Raja Putri yang kontroversial.
Sementara yang putra adalah Tuanku Rajo Bagindo Dewang Bano Rajowano, sebagai putra mahkota yang menolak untuk menaiki tahta kerajaan tetapi lebih suka menjadi Raja Muda di Ranah Sikalawi kawasan Rejang Lebong Bangkahulu yang wilayahnya sampai ke Sungai Pagu di Solok Selatan sekarang.
Dalam Tambo tercatat sebagai Raja yang juga suka merantau, kemudian dikenal sebagai seorang raja yang mengislamkan penduduk Bugis sampai ke Sulu, di Sulawesi. Seperti sudah diketahui bahwa pada tahun 1390 M seorang bangsawan Minangkabau bernama Raja Bagindo berkelana sampai ke Sulu dan Mindanao.
Putri Panjang Rambut mengambil nama julukan yang sama dengan nama kakak ibu kandungnya sendiri, yang pergi ke Jambi. Untuk mengangkat sang Putri menjadi Raja, kalangan pembesar istana merasa kesulitan dan ragu-ragu karena sang putri masih seorang gadis, belum lagi menikah. Oleh karena itu pilihan jatuh kepada Dewang Pati Rajowano Sultan Maharaja Hakikat, seorang putra yang alim ilmu, pendekar yang berwibawa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam soal-soal pemerintahan kerajaan.
Sang Putra ini adalah anak kandung dari Dewang Bonang Sutowano, kakak kandung Maharaja Sakti yang mendampingi Tuanku Syaikh Maghribi ke Gresik[70]. Inilah awal dari sebuah misteri peristiwa besar yang kelak sempat mengemparkan Pagaruyung sebagai pusat jala negeri-negeri Pulau Emas, Sumatera. Apa pasalnya ?
Pertama,  berawal dari adik kandung  sang  putri, Raja Bagindo yang menolak menaiki tahta kerajaan Pagaruyung,  dan pergi ke Ranah Sikalawi, justru menjadi raja di sana.
Kedua, pengangkatan sang putri sebagai pengganti adiknya menaiki tahta, tidak dapat diterima oleh kalangan Basa Ampek Balai dan penghulu-penghulu orang-orang besar istana lainnya,  karena sang putri dianggap masih gadis dan belum bersuami.
Ketiga, sebagai jalan keluarnya pilihan dijatuhkan kepada saudara sepupu sang putri, yakni Dewang Pati Rajowano Gelar Maharaja Hakikat untuk menaiki tahta kerajaan dengan sarat harus mau menikahi sang putri. Syarat ini ditolak tegas-tegas oleh sang putri untuk kawin dengan saudara sepupunya sendiri. Walaupun selama ini sudah biasa terjadi dikalangan keluarga kerajaan, tetapi Putri Panjang Rambut tetap mendukung sepupunya untuk naik tahta tanpa harus menikahi dirinya.
Keempat, dibalik kemelut ini akhirnya terungkap pula berbagai keinginan tersirat di kalangan keluarga pembesar istana yang saling memperebutkan pengaruh untuk mendapatkan harta warisan tiga dinasty kerajaan dengan menjadikan putri ini sebagai kambing hitamnya.
Dan dengan tegas pula sang putri menyatakan hak-haknya, bahwa ia tidak berkeinginan menaiki tahta kerajaan, tetapi Istana di Ulak Tanjung Bungo dan Istana Silinduang Bulan yang didirikan oleh kedua orang tuanya, adalah harta warisan yang menjadi hak miliknya secara sah. Sedangkan istana Melayu Kampung Dalam,  silahkan untuk kediaman resmi Maharaja Hakikat sebagai Maharaja Suwarnabhumi.
Kelima, ketika penobatan Maharaja Hakikat akan dilangsungkan, Putri Panjang Rambut yang diminta untuk menyatakan persetujuannya di hadapan pembesar istana dan masyarakat, justru ia yang didudukkan di atas tahta atas permintaan Maharaja Hakikat sendiri. Peristiwa itu tidak saja mengejutkan hadirin tetapi juga mengejutkan Putri Panjang Rambut sendiri.
Keenam, Maharaja Hakikat menegaskan bahwa tidak ada yang berhak atas tahta kerajaan itu selain dari pada Putri Panjang Rambut sendiri. Raja Baginda,  adik kandung Putri Panjang Rambut, tidak berani campur tangan untuk menguasainya selama Putri Panjang Rambut masih hidup.
Ketujuh, juga dijelaskan oleh Maharaja Hakikat, bahwa diluar sepengetahuan para pembesar istana, Putri Panjang Rambut telah dipersiapkan dan dididik di dalam berbagai ilmu pengetahuan oleh Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti, termasuk mengenai ilmu pemerintahan, sebagai calon yang dipersiapkan untuk menggantikan baginda jauh-jauh hari sebelumnya.
Akhirnya Putri Panjang Rambut naik nobat, menduduki tahta kerajaan ditengah-tengah ketidak percayaan  keluarga istana dan para pembesar kerajaan yang antipati  atas kemampuan yang dimiliki seorang gadis istana seperti Putri Panjang Rambut. Walaupun mahkota kerajaan langsung dipasangkan oleh Maharaja Hakikat sendiri, yang secara tulus mengundurkan diri, dan  menolak untuk naik tahta. Apalagi untuk menyaingi saudara sepupunya sendiri.
Masyarakat, para pembesar istana, dan kerabat kerajaan menjadi cemas, jangan-jangan kemaharajaan yang telah dibangun kembali dengan susah payah oleh Daulat Yang Dipertuan Maharaja Sakti, kembali hancur gara-gara mahkota diserahkan kepada seorang wanita tanpa pendamping.
2.  Tokoh Kontroversial Pelarian  Dari  Pagaruyung
Indrajati (Indojati), yang dikatakan sebagai pelarian dari Minangkabau Pagaruyung, salah seorang keturunan dari dinasty Makhudum di Sumanik, menjadi tokoh pimpinan dan kepala daerah yang berpenduduk pribumi di Tanah Hiyang. Atas kebijakannya tersusun tujuh kepala wilayah berdasarkan konsep Koto Piliang dan mengaku berada di bawah kekuasaan yang berkedudukan di Tanah Hiyang. Silang sengketa yang berhubungan dengan wilayah Kerinci seluruhnya diselesaikan di Tanah Hiyang ini.
Dalam Encyclopaedisch Bureau (Aflevering VIII)[71] dikatakan bahwa menurut cerita yang turun temurun dari mulut ke mulut, berangkatlah pada suatu ketika Raja Keminting, yaitu seorang saudara muda dari bekas Tuanku Raja Shah Alam Minangkabau, diiringkan oleh serombongan orang Minang dari Indrapura menuju Kerinci, lalu berhenti di dusun Bentok bahagian Rawang.
Di dusun itu telah didapati adanya manusia yang berlainan tutur  bahasanya dengan bahasa Minang. Dari sana Raja Keminting pergi melawat ke mana-mana dalam daerah itu hendak mencari tempat diam yang layak bagi rombongannya. Salah seorang yang ditemuinya bernama Indrajati, Ketua penduduk yang bertempat diam di kawasan sungai Melas, dusun Tanah Hiyang.
Siapakah Raja Keminting ?
Menurut Tambo Rajo-Rajo Minangkabau[72], justru Raja Keminting itu adalah cucu Hiyang Indrajati sendiri, yang datang dari Indrapura.
Dari empat orang anak Dang Tuanku dengan Putri Reno Kemuning Mego, salah seorang diantaranya bernama Dewang Peniting Putrawano, dan lebih terkenal pada zamannya sebagai Raja Keminting, di  Pulau Sangka, Kerinci.[73] William Marsden telah menulis hasil penyelidikan dan peninjauannya itu ke dalam bukunya The History of Sumatera.[74]
Dari catatan ini dapat diketahui bahwa sebenarnya memang ada hubungan Indrapura Pesisir Selatan dengan kisah perjalanan pengungsian Dang Tuanku, Putri Bungsu, Putri Reno Kemuning Mego dan Bundo Kandung yang raib dari Pagaruyung, sehingga anak Dang Tuanku menyusul kakeknya Hiyang Indrajati ke Kerinci yang diberi kedudukan di Pulau Sangka, dan kelak melahirkan seorang putra bernama Rajo Ceranting,  menjadi raja pula di Serampas dan Sungai Tenang.
Negeri-negeri ini biasanya yang dianggap sebagai daerah Kerinci. Menurut pandangan Geografi setempat Kerinci yang sebenarnya berpusat di Tanah Hiyang, Serampas dan Sungai Tenang yang semuanya dikuasai oleh Indrajati, cucu dan cicitnya adalah keturunan Bundo Kandung dari Pagaruyung, Minangkabau.[75] .
Dan inilah yang dipertahankan dan dipersumpah saktikan turun temurun, sampai kepada Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, Usli keturunan Kesultanan, Kerajaan Indrapura, Penguasa Pesisir Barat Sumatera, yang mengakui keberadaannya sebagai daerah netral.
Dari Tanah Hiyang, tradisi menceriterakan bahwa Indrajati, Raja Minangkabau. Menurut perintah Raja tersebut harus memerangi Imbang Jayo, Raja Bengkulu. Sebab-sebab peperangan ini ialah :
Indrajati mempunyai putra yang bernama Remendung Tuanku Orang Muda. Yang terakhir telah bertunangan dengan Putri Bungsu yang sangat cantik dan menarik perhatian Imbang Jaya yang juga melamarnya dan diterima tanpa memutuskan hubungannya dengan Remendung. Atas desakan Imbang Jaya  perkawinanpun akan dilaksanakan. Putri Bungsu, ketika dalam perhelatan yang diadakan ini dilarikan oleh Cindua Mato, seorang keluarga Remendung atas perintah yang terakhir (Remendung sendiri), ketika diketahui bahwa perkawinan akan dilangsungkan antara Putri Bungsu dan Imbang Jaya. Oleh karena itu terjadilah peperangan antara Indrajati dan Imbang Jaya dengan hasil yang tidak menguntungkan bagi Makhudum Indrajati, sehingga terpaksa lari dan mendapat tempat persembunyian di Kerinci, dimana kemudian ia mendirikan sebuah kampung yang oleh penduduk kemudian disebut sebagai kampung Tanah  Hyang. Tentang Makhudum ini diberitakan  bahwa ia tidak meninggal, tetapi menghilang di sekitar Tanah Hiyang. Tempat dimana ia menghilang itu dianggap keramat.[76]
Kisah di atas merupakan kesimpulan yang didapatkan oleh seorang Belanda, berdasarkan cerita-cerita rakyat yang dikumpulkannya. Tetapi menurut Ranji Salasilah Tambo Rajo-Rajo Pagaruyung di Gudam, menceritakan dengan jelas dalam bentuk  syair yang indah tentang epos Indrajati ini, seperti kutipan  berikut :
Lorong kapado Hiyang Indojati
dibawo bintaro gagah barani
urang Sungai Ngiang banyak sakali
parang bajoak bajadi-jadi
Banyak urang Sungai Ngiang
langkok bintaro jo hulubalang
di Tanah Tinggi bajoak parang
Hyang Indojati pun lah datang
Hyang Indojati ka Alam Kerinci
Tanah Hiyang namonyo kini
Hyang Indojati badaulat sandiri
sambahan urang patang jo pagi
Itulah sebabnya kemudian Hiyang Indrajati dan pewaris-pewarisnya tetap memangku jabatan Suluh Bendang Alam Kurinci. Sementara istrinya Raja Perempuan Puti Panjang Rambuik yang lebih dikenal sebagai  Bundo Kandung, Rajo Alam Minangkabau tetap tinggal memegang Tampuk Pulau Paco di Istano Pagaruyung.
Puti Panjang Rambuik namo tabuni
kawin jo Tuan Hiyang Indojati
dari Bukik Siguntang-guntang Marapi
di Sumanik tingga dalam nagari
Adopun Tuan Hiyang Indojati
urang kiramat sarato sakti
kerjaan nan lahir di Istana Puri
Anggun Cindai gelar terbuni.[77]
3.  Dari Tiang Bungkuk Ke Maulana Malik Ibrahim
Hiyang Indrajati adalah seorang penasehat ahli, yang memegang peranan penting, bahkan dapat diduga sebagai konseptor utama tatanan dan strategi pemerintahan Pagaruyung pada zamannya. Seorang ulama yang arief dan cendekiawan ulung dari Dinasti  Makhudum Sumanik, karena kemelut dengan Cina Kuantung (Kuwanti) yang menguasai daerah Sungai Ngiang, Hulu Rawas terpaksa menghadapi perang.
Perang dengan Cina Kuantung terus berlanjut. Hiyang Indrajati terus mengatur pertahanan dan bertindak langsung sebagai Stabilisator daerah Kerinci, Jambi dan Hulu Rawas.
Namun sebaliknya seorang pembelot yang bergabung dengan Cina Kuantung dengan menyandang gelar sebagai Rio Dipati, dalam Kaba Cindua Mato dikenal sebagai Tiang Bungkuk dan anaknya Imbang Jayo  bergelar Rio Agung Muda, dengan marahnya lalu menyerang dengan membawa bintaro yang banyak ke Luak Nan Tigo gara-gara tidak jadi kawin dengan Putri Bungsu. Nama sebenarnya putri ini adalah Puti Reno Kemuning Mego yang telah bertunangan terlebih dahulu dengan Remendung Tuanku Urang Mudo, Dewang Pandan Salasiah Banang Raiwano yang disebut juga sebagai Dang Tuanku, Malin Daulat, Tuanku Berdarah Putih.
Hiyang Indarajati dengan dibantu Sultan Maharaja Hakikat Dewang Pati Rajowano, membawa bintaro cukup banyak menghadapi Cina Kuwantung ini di Hulu Rawas, sampai ke Kerinci, kemudian terus ke Tamiai bersama bintaro dan hulubalangnya dan akhirnya menetap di sana. Sebaliknya Cina Kuantung menggoncangkan Pagaruyung, Sungai Tarab, Sumanik, Padang Ganting dan daerah sekitar Luak Nan tigo yang berpusat di  Pariangan Padang Panjang.
Dengan pertimbangan yang cukup matang, dari pada karam pulau Paco hancurnya Pagaruyung, Tampuk Pulau Paco, akhirnya Dang Tuanku Dewang Pandan Salasieh Bonang Raiwano, bersama istrinya Puti Bungsu Reno Kemuning Mego anak kandung Tuanku Rajo Mudo di Ranah Sikalawi terpaksa meninggalkan istana.
Pagaruyung jadi sepi,  hanya tinggal koto. Mande Kandungpun dibawa serta, yakni Puti Panjang Rambut yang memiliki gelar kebesaran sebagai Bundo Kandung istri Hiyang Indrajati sendiri yang telah berada di daerah Kerinci.
Sementara Pagaruyung diserahkan kepada Ampanglimo Parang Dang Bagindo Cindua Mato, Dewang Cando Ramowano yang menghadapi parang basosoh  di Padang Gantiang, Tanah Datar. Cindua Mato kewalahan mengahadapi serangan musuh sehingga kemudian dapat ditawan Cina Kuantuang.
Dengan tertawannya Cindua Mato, Pagaruyung menjadi kritis, Ulak Tanjuang Bungo pun menangis, Pusat Pulau Paco akan terbabat habis, sementara Pariangan Padang Panjang tidak punya inisiatif.
Berita tertawannya Cindua Mato sampai ke Ranah Sikalawi, kepada Tuanku Bagindo Rajo Mudo adik kandung Bundo Kanduang Puti Panjang Rambut, ayah Puti Bungsu Reno Kemuning Mego yang berkedudukan di istana Sialang Koto Rukam, Ranah Sikalawi. Tuanku Bagindo Rajo Mudo lalu mengirim pasukan khusus untuk melepaskan kembali Dewang Cando Ramowano dari tawanan Cina Kuantuang.
Dengan lepasnya Pendekar Panglima Perang Cindua Mato, perang kembali berkecamuk. Kali ini basosoh parang antara Ranah Sikalawi dengan Ulu Rawas yang menjadi pusat kedudukan Cina Kuantuang waktu itu., yang dimenangkan oleh bintaro Cindua Mato. Wilayah Ranah Sikalawi dan Ulu Rawas dapat dikuasai. Cindua Mato dinobatkan menjadi raja di sana.
Kondisi prihatin yang terjadi di Pagaruyung menyebabkan Cindua Mato kembali pulang ke Pagaruyung Minangkabau. Dan tak ada pilihan lain, mahkota yang ditinggalkan Dang Tuanku dengan istrinya, serta bersama Bundo Kandung yang meninggalkan istana, akhirnya dijunjungkan kepada Cindua Mato, oleh Pucuk Nagari Tuo Sungai Tarab yang juga  menjadi mertuanya sendiri, yakni Tuan Titah Alam Minangkabau yang memegang Pucuk Kelarasan Koto Piliang.
Cindua Mato naik nobat dengan memangku gelar warisan Datuk Bandhaharo Putih sebagai Tuan Titah Dalam Alam, duduk bersama istri Puti Reno Marak Ranggo Dewi, salah seorang dari putri kembar Pucuk Nagari Sungai Tarab, Tuan Titah yang Tua. Sedangkan putri yang satu lagi yakni Puti Reno Marak Ranggo Wani dikawinkan dan duduk bersanding dengan Tuanku Rajo Buo,  Rajo Adat Rajo Jauhari di Buanopuro.
Akannya Dang Tuanku, Puti Bungsu dan Bundo Kandung yang meninggalkan istana puri menghilang dari kampung yang di dalam Kaba Cindua Mato disebutkan mengirab ke langit. Sebenarnya berangkat ke Pagar Dewang secara diam-diam untuk tidak diketahui oleh musuh, karena dalam suasana perang dengan Cina Kuantuang yang telah sampai menjarah ke pusat Pulau Paco.
Itulah sebabnya dilakukan pengungsian secara rahasia dengan melakukan perjalanan naik kuda ke suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai negeri asal tanah kahyangan di Hutan Sitampok, Rimbo Sitapuang.
Jauah nan indak ka tajalang
dakek nan indak talampau kampuang
nyariang sapakiek Sungai Ngiang
sayuik barito Pagaruyuang
Kok dijalang indak ka basuo
kok ditampuah talampau pulo
dihariek jauah tadangapun tido
urang babisiek jaleh sajo
Olak olainyo Luak Nan Tigo
Rio Dipati mambawo bintaro
dari pado karam Pulau Paco
Rajo manghinda tinggalah koto
Pagaruyung tinggalah pulo
Rajo pai jo Kamuniang Mego
Mande Kanduangpun pai sarato
Puti Panjang Rambuik tasabuik namo
Rajo hilang dari kampuang
pai jo kudo ka Paga Dewang
di hutan Sitampok Rimbo Sitapuang
Tanah Kahyangan namonyo tajujuang.[78]
Bundo Kanduang, diberi tempat di Lunang, untuk dapat bertenang diri dan tidak mudah diketahui. Sementara Dang Tuanku serta Puti Reno Kemuning Mego ditempatkan di Indrapura.
Bundo Kandung, mengkhusukkan diri dalam mujahadah yang tenang, memperdalam nilai-nilai ajaran kerohanian agama Islam yang bersifat sufistik dan bersuluk. Inilah kemudian dikiaskan dalam kaba Cindua Mato bahwa Bundo Kanduang mi’raj ke langit, yang tempatnya di Lunang,  wilayah Kesultanan Kerajaan Indrapura yang tersembunyi.
Bundo Kanduang memakai nama Islam sebagai penunjuk jatidirinya di masa tua dengan panggilan  Mande Rubiyah yang mengambil nama besar tokoh Sufi Wanita pada zamannya yakni dari nama Rabbiyah Al-Adawiyah.
Hanya kebiasaan lidah penduduk mengucapkan nama-nama tersebut berubah bunyi menjadi Rabiah, Rubiah atau  Rubiyah. Perjalanan keruhanian ini juga diikuti oleh Dang Tuanku bersama istrinya, menjalani latihan-latihan keruhanian dalam ibadah suluknya, dibawah bimbingan Tuanku-Tuanku Sieh (Syeikh)nya, sampai mencapai tingkat maqam tertentu. [79]
Dang Tuanku, memakai nama kebesaran sesuai dengan tingkat  maqam kesufian yang dilaluinya dengan nama :
Tuanku Mualim Daulat,
Yang Dipertuan Berdarah Putih,
Sulthan Khairul Khalifatullah.
Begitu juga kata mualim selalu saja terucapkan menjadi  malin, sehingga  dalam perjalanan  sejarah Islam masa lalu kita jumpai  pemimpin-pemimpin negeri yang alim ilmu dalam agama Islam secara khusus mewarisi gelar  Malin Daulat  atau  Labai Daulat. Sementara istrinya kemudian menyalin nama ibu mertuanya yang juga adalah kakak kandung ayahnya dengan panggilan Bundo Kandung pula. [80]
4. Tuanku Maharaja Sakti
Siapakah Tuanku Maharaja Sakti ?
Maka tersebutlah dalam Isi Sunnah 1050, sebuah keputusan hasil mufakat pada masa Kerajaan Bungo Satangkai sebelum berdirinya Nagari Pagaruyung, dikukuhkan kembali dalam penempatan raja-raja Rantau, Darat dan Laut dalam semua kawasan wilayahnya yang dikenal sebagai Tambo Sultan Nan Salapan, menyatakan bahwa :
“Adapun nan turun tamurun dalam nagari Indrapura, tatkala asa mulonyo jadi Raja Indrapura, nan banamo Sultan Muhammadsyah, anak cucu Daulat Nan Dipertuan Nan Sati, di dalam nagari Pagaruyung, itulah yang mulo-mulo jadi Rajo di Indrapura, balahan tingga di dalam nagari Muko-Muko, Partamuan Rajo-Rajo Dahulunyo, balun banamo Muko-Muko, sakalian hamba rakyat mangko turun ka tanah Padang, hinggo Lawik Nan Sadidieh, lalu ka pulau kaliliangnyo. Kapado Rajo Indrapura Kaliliang itu, itulah kabasaran Sultan Muhammadsyah Indrapura, nan beroleh Khalifah dibari Allah, katurunan Daulat Nan Dipertuan Nan Sati, Khalilullah di Pagaruyung,”[81]
Siapakah Daulat Yang Dipertuan  Raja Nan Sati, yang tersebut dalam Tambo Sultan Nan Salapan, terbitan tahun 1050 Hijriah  itu ?
Raja Nan Sati, Raja Nan Sakti, Yang Dipertuan Nan Sati, nama lengkapnya adalah Daulat Yang Dipertuan Sultan Sri Maharaja Nan Sakti, merupakan cikal bakal yang menurunkan raja-raja di Sungai Salak-Linggi pada periode berikutnya di Pariaman, Indrapura, dan Sungai Pagu.
X
Mande Rubiah
1. Mande Rubiah, di Lunang
Kehadiran keturunan Bundo Kanduang, yang dikatakan sejak berabad abad yang lalu, sampai hari ini tetap merupakan misteri sejarah yang belum terpecahkan di Pesisir Selatan,  kecuali diterima sesuai dengan apa adanya.
Adalah seorang perempuan bernama Rakinah, dipercaya oleh masyarakat Lunang Indrapura,  bahkan oleh sebagian besar masyarakat di Pesisir Selatan berasal dari keturunan Mande Rubiah I, kini diyakini sebagai pemimpin spiritual Lunang dan sekitarnya sebagai titisan utama   generasi Mande Rubiah yang VII.
Sejauh manakah hubungan silsilah keturunan  Bundo Kandung yang bergelar Mande Rubiah I sampai kepada Rakinah sekarang  dapat ditelusuri riwayatnya ?
Bahwa yang bernama Bundo Kandung, Daulat Yang Dipertuan Putri Rajo Alam Minangkabau, yang kemudian dikabarkan oleh Kaba Cindua Mato mikraj ke langit. Bundo Kandung meninggalkan seluruh atribut kerajaan, dan bersama pembesar-pembesar kerajaan yang terdiri dari rombongan Basa Empat Balai dan  putra tunggalnya Dang Tuanku serta istrinya menuju suatu  tempat rahasia.
Sebagai seorang  Bundo, Pemegang Mahkota Kerajaan, Ratu Perempuan  di Minangkabau, yang sudah dilepaskannya, kemudian beralih nama dengan gelar kebesaran martabat menjadi  Mande Rubiah, dan mengayomi anak negeri dengan bimbingan-bimbingan spritual keagamaan yang bercorak sufistik, di suatu alaqah tersembunyi  pada zamannya. Tidak mudah untuk pergi ke sana. Diungkapkan dalam Tambo : “Jauah nan indak ka tajalang,dakek nan indak ka basuo.” Jauh yang tidak akan terjelang, dekat yang tidak akan bertemu.
Mande Rubiah tidak lagi membina istana kerajaan secara duniawi, tetapi justru membina Istana Cinta di hatinya dan di hati  rakyatnya. Bundo Kandung hilang dalam peredaran kebesaran pangkat dan martabat duniawi yang telah ditinggalkannya, tetapi hidup di Istana Cinta, sebagai hamba Tuhan Yang Mulia. Begitu pula putra kandungnya Dang Tuanku mencapai tingkat maqam spiritualnya sesuai dengan kadar rahmat dan hidayah Tuhan kepadanya. Ketinggian maqam spiritual Dang Tuanku dinyatakan dengan gelar yang disandangnya sebagai  Malin Daulat,  Tuanku Berdarah Putih.
Rakinah, sebangai “Mande” adalah salah seorang sosok diantara anak cucu dari zurriat keturunan Bundo Kandung yang menerima hidayah spiritual lansung (wangsit) tanpa bimbingan seorangpun, dengan tidak menafikan adanya anak-anak cucu yang lain.
Ini diakui sendiri oleh Rakinah pada tahun 1989, saat penulis menanyakan sendiri kepadanya. Sejak kapan menjadi Mande ? Rakinah mengatakan waktu itu bahwa ia menjadi Mande sejak umur 4 tahun. Itu berarti diluar kesadaran Rakinah sendiri, pancaran sinar  hidayah spiritual Mande Rubiah atas rida dan bimbingan Tuhan telah menitis kepada Rakinah sejak berumur 4 tahun.
Namun karena Rakinah tidak didukung dengan pengetahuan spiritual yang sesuai dan memadai, maka kemunculan Rakinah sebagai Mande Rubiah hanya sebatas naluri spiritual “seorang perempuan desa” yang bersahaja, walaupun pada saat-saat tertentu hadir dengan kharisma seorang pemimpin wanita yang memancarkan keanggunan sinar pribadi seorang Mande, tanpa mampu menjelaskan berbagai aspek yang terkait dengan keberadaan dirinya sebagai  Mande Rubiah. Ini merupakan sebuah kelemahan yang kadang-kadang justru meragukan banyak pihak, yang “memandangnya dengan kacamata luar.”
Dapat diduga, dalam hal ini Rakinah secara sosial kemungkinan (kalau tidak hati-hati) berada dibalik tabir tokoh-tokoh tertentu yang tidak bertanggung jawab mengendalikan, atau memanfaatkannya untuk maksud-maksud tertentu pula. Walaupun demikian, sebagai seorang anak perempuan yang beranjak dewasa waktu itu, Rakinah juga dibina dan diarahkan, bahkan mendapat pengawasan yang ketat seorang Urang Tuo Nagari Lunang  sendiri yang memiliki hubungan tali spritual sendiri dengan Rakinah.
Kita tidak tahu pasti, sejauh mana hubungan keturunan mereka berdasarkan “tali darah”.  Urang Tuo Adat nagari Lunang tersebut,yang oleh masyarakat juga dikenal sebagai seorang yang mewarisi kharisma tersendiri, yakni beliau  Bujang Sabaleh, bergelar Maruhum Alamsyah.  
Tidak banyak informasi sejarah yang dapat diharapkan dari Rakinah untuk pelestarian berbagai nilai budaya, kecuali sebagai pewaris sebuah Rumah Gadang dengan berbagai peninggalan benda-benda budaya yang berharga. Tidak salah apabila sekarang Mande Rubiah lebih dikenal sebagai   pewaris dan pemelihara harta benda budaya  seperti apa adanya. Dengan harapan adanya uluran tangan dari bebagai pihak yang mencintai sejarah dan budaya negeri sendiri secara ikhlas.
2. Mande Rubiah,  di Sungai Lundang
Seorang wanita yang menjadi Pemimpin Spiritual di Sungai Lundang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan  adalah seorang wanita utama dalam kaum suku Caniago, dengan Penghulu  Datuk Rajo Magek.
A. Caniago Hr. (almarhum) salah seorang sahabat  penulis, yang semasa hidupnya sering berbincang-bincang di rumah penulis, dalam sebuah tulisannya yang juga pernah didiskusikan dengan penulis di tahun 1989 menerangkan bahwa, ketika tidak ada lagi laki-laki yang memangku jabatan adat dengan menjunjung gelar Datuk Rajo Magek dari kaum Datuk Rajo Magek di Sungai Lundang sendiri, maka muncullah seorang wanita dalam kaum itu sebagai pemimpinnya.  Wanita itu bergelar sanjungan sebagai  Mande Rubiyah.
Ia mewarisi semua jabatan yang dipegang Datuk Rajo Magek, Sungai Lundang. Demikianlah Mande Rubiyah kemudian menjadi pemimpin perkampungan Sungai Lundang, sekaligus pemimpin adat dan pemimpin spiritualnya.
Karena yang menjadi pemimpin utama Sungai Lundang dipangku oleh seorang wanita maka urusan Undang, oleh Raja Tarusan waktu itu digabungkanlah Sungai Lundang dengan Taratak. Raja Taratak menjadi Raja Taratak Sungai Lundang.
Menurut keterangan, A. Caniago Hr. di Sungai Lundang tercatat delapan orang yang bergelar Mande Rubiah. Yang pertama adalah seorang wanita yang bernama Mayang, selaku Mande Rubiah I. Sepeninggal beliau ada beberapa nama yang memangku gelar Mande Rubiah ini  sampai kepada seorang perempuan bernama Lian sebagai Mande Rubiah  VII, sedangkan sekarang  yang menjadi Mande Rubiah  VIII adalah seorang perempuan bernama Lumek (di tahun 1989, usianya 68 tahun).
Sebagai Mande Rubiah didampingi oleh dua orang Mande Rubiah Mudo. Masing-masing Miar yang ditahun 1989 berusia 47 tahun, dan seorang lagi bernama Minar. Biasanya untuk urusan keagamaan yang bersifat acara-acara diurus oleh kedua Rubiah Mudo. Bahkan untuk memandikan jenazah wanita, juga menjadi tanggung jawab Rubiah Mudo.
Di Sungai Lundang dulu hanya terdapat seorang Mande Rubiah, yakni wanita yang pernah menjadi pemimpin adat dan spiritual Sungai Lundang. Namun kini kabarnya dalam suku selain Caniago yakni dalam suku Jambak dan Tanjung  juga ditanam seorang wanita yang disebut juga Rubiah tetapi terbatas dalam arti untuk urusan memandikan jenazah wanita saja. Sedangkan kedudukan Mande Rubiah ke VIII kendati tinggal untuk lingkungan suku Caniago saja tetap berperan sebagai Bundo Kandung.
Mande Rubiah ke VIII yang bernama Lumek selaku Mande Rubiah Adat juga mempunyai gelar seperti gelar yang disandang seorang lelaki pemangku adat dalam suku.  Mande Rubiah VIII bergelar Puti Baruaci. Sedangkan Rubiah Mudo yang bernama Miar bergelar Siti Jalipek, dan Rubiah Mudo  yang bernama Minar bergelar Siti Saribanun.

No comments:

Post a Comment