Iklan Adsense

Thursday, February 29, 2024

Kesultanan Indrapura (part 5)

 

3.   Kesaksian  Sebuah Ranji  Silsilah 
Sebuah dokumen penting yang menjadi saksi keberadaan Kesultanan Indrapura di masa lalu, yang sekarang tersimpan dengan rapinya oleh ahli waris  zuriat keturunan Sulthan-Sulthan Indrapura yang perlu penelaahan lebih lanjut, adalah sebuah Ranji Salasilah Sulthan-sulthan Indrapura  yang panjangnya sekitar 5,5 m, lebar kurang lebih 65  cm.
Disimpan dalam sebuah tabung yang terbuat dari seng-plat tua. Batang Ranji diukir dalam garis-garis dan lingkaran yang cukup indah dan mempesona. Ditulis dalam huruf Arab bahasa Melayu yang rapi dan indah pada kertas tua warna kecoklat-coklatan yang keadaanya sudah lapuk, sehingga perlu diberi lapisan kertas baru, terekat rapi sebagai penguat dibagian belakang kertas ranji.  Apabila ranji ini  hendak dikeluarkan maka sang pewaris selalu lebih dahulu membaca doa.
Penulis buat pertama kalinya membaca manuskrip ranji ini dan kemudian menyalin dan mengalih tulis ke dalam tulisan latin di bulan Oktober 1989, atas izin ahli warisnya, Sultan Boerhanoeddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah (67 tahun), Pucuk Adat Kampung Dalam Indrapura, di Pesisir Selatan.[33]
Keturunan terakhir dari bekas Kerajaan Kesultanan Indrapura yang tertulis dalam Ranji Asli, ialah Putri Gindam Dewi Alam Indrapura, bersama saudaranya Sultan Setiawansyah Indrapura. Keduanya adalah anak kandung dari Putri Nurmidah Gumala Indrapura, dan cucu dari Putri Zainab Cakra Alam Indrapura.
Sementara Putri Zainab ini adalah adik kandung dari Putri Bangun Rajo Perempuan Indrapura, yang melahirkan Sultan Mohammad Baki Gelar Sultan Firmansyah, Raja dan Sultan terakhir dari sejarah  perjalanan Kerajaan Kesultanan Indrapura (1860-1891 M).
Batang Ranji Salasilah Sultan-Sultan Indrapura ini cukup panjang mencatat seluruh Sultan-Sultan yang memerintah Kerajaan Kesultanan Indrapura dari generasi ke generasi. Ada catatan dan uraian singkat di bawah nama masing-masing Sultan tentang seluk beluk harta peninggalan kerajaan, susunan pemerintahan, lambang, dan hak-hak  wilayahnya, pusaka kebesaran kerajaan, struktur, dan perjanjian pelaksana pemerintahan waktu itu.
Para ahli, barangkali akan lebih dapat mempelajari naskah secara lebih rapi. Beberapa catatan tentang Perjanjian Wilayah Kerajaan Kesultanan  yang tercatat dan telah penulis alih tuliskan adalah mengenai Perjanjian Segi Tiga, antara Penguasa Wilayah Pesisir Barat Sumatera, dengan Penguasa Wilayah Kerinci dan Penguasa Wilayah Jambi pada zamannya.
Naskah Perjanjian ini sampai sekarang tetap dimiliki dan diwarisi secara adat oleh masing-masing pihak di wilayah tersebut. Salah satunya menurut versi Kerinci, antara lain berbunyi :
“Adalah ini sebagai perjanjian dan keterangan Yang Dipertuan Indrapura terhadap Kerinci. Bahwa pada mulanya adalah Yang di Pertuan Berdarah Putih bersemayam di atas tahta kerajaan dalam nagari Indrapura ujung Pagaruyung serambi Kerajaan Alam Minangkabau, memerintah sekalian daerah Pesisir Barat.” [34]
Sementera itu di Tanah Hiyang Sungai Penuh, peristiwa ini tetap menjadi cerita yang hidup, dipegang dan dihormati secara Adat. Terutama cerita ini bertambah menarik karena Keris Sakti Malelo Pengarang Setia yang diceritakan sebagai milik Tuanku Berdarah Putih, Sultan Indrapura dikala itu. Mata keris-nya digunakan untuk mengukir isi sumpah pada salah satu tanduk kerbau yang disembelih sebagai tanda ikrar perjanjian yang dilakukan di Bukit Si tinjau Laut. Sampai sekarang  tetap menjadi batas wilayah antara Sumatara Barat dengan Kerinci.  Tanduk itu diberikan kepada Raja Muda Pancardat Setia, sementara Sarung Keris tetap menjadi milik Tuanku Berdarah Putih, Sultan Indrapura.
Inilah riwayat dari sebuah Perjanjian yang sampai sekarang masih dianut, dipatuhi dan dipercayai secara tradisi oleh masyarakat adatnya disekitar perbatasan Sumatera Barat dan Kerinci. Perjanjian ini dipegang teguh sebagai amanah yang tak boleh dilanggar lahir dan batin antara dua daerah yang bertetangga, demi keutuhan konsep hidup berdampingan secara damai, dan berkesinambungan secara turun temurun.
4.  Kesaksian Sejarah, Tentang Isi Sebuah Perjanjian
Peristiwa persumpahan Karang Setia terjadi pada tahun 1560 M, antara tiga orang raja, yaitu menurut Ranji (Tinggi) Indrapura yang tertulis dalam huruf Arab, Bahasa Melayu, yang ditranskripsikan sebagai berikut :
1. Sultan Kerajaan Indrapura, Sultan Gegar Alamsyah Tuanku Nan Berdarah Putih, yang bermakam di Kampung Gobah Palukan Hilir Indrapura, Permaisurinya bernama Raja Perempuan Putri Dyah (Siah) Bintang Purnama.
2. Pangeran Temenggung  dari Muara Besumai, Pucuk  Jambi Sembilan Lurah.
3. Rajo Mudo Pancardat, Dipati Empat-Delapan Helai Kain, Punggawa Raja, Pegawai Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci.
Perjanjian ini, dilaksanakan dan bertempat di Bukit Sitinjau Laut, memotong kerbau tengah dua, mengacau darah, menanam tanduk dan melapah daging, membuat sumpah Karang Setia  di  Balairung Sari. Yang kelak menjadi lambang adat bagi pertemuan segi tiga ini. Balai Bergonjong Tiga tersebut terdiri dari:
1. Satu Gonjong dari Indrapura, beratap Ijuk.
2. Satu Gonjong dari Jambi, beratap Daun Sikai.
3. Satu Gonjong dari Kerinci, beratap Kayu Sebagi
Isi perjanjian itu adalah sebagai berikut :

Isi Karang Setia[35]

Gunung yang memuncak tinggi, Lurah yang dalam, dan segala apa yang ada di dalamnya, adalah kepunyaan milik Kerajaan Indrapura. Laut yang berdebur, pesisir yang panjang, adalah kepunyaan Raja Mudo Pancardat Alam Kerinci.
Dan apabila hilang dan tersesat rakit Yang  Di pertuan Kerajaan Indrapura ke gunung yang memuncak, hilang bercari terbenam diselami tertimbun digali, begitu juga apabila hanyut dan hilang rakit Rajo Mudo Pancardat Dipati Empat Helai Kain, Pegawai Raja, Pengawal Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci, hanyut dipintasi, terbenam diselami, hilang dicari, dan tertimbun dikekas, terbujur ke dalam laut diselami.
Dan apabila musuh datang dari gunung Rakit Alam Kerinci yang menghadapinya, dan apabila musuh (bajau) datang dari laut, rakit Kerajaan Sultan Indrapura menghadapinya Apabila musuh datang dari  dalam, dari tengah, sama di kepung. Yang uang kepeng sekepeng dibagi tiga.
Sepertiga, kembali ke Indrapura menjadi Undang      dan Adat.
Sepertiga, jatuh ke Jambi menjadi Teliti.
Sepertiga lagi tinggal di Alam Kerinci menjadi Sako.
Demikianlah Karang Setia ini, turun temurun tidak boleh di mungkiri. Adapun rakit dan Orang Besar Rajo Mudo Pancardat, Dipati Empat-Delapan Helai Kain, Pegawai Rajo, Pegawai Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci, dan Pangeran Tumenggung dari Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Muaro Besumai, sampai kepado ahli warisnya, bersumpah setia kepada Daulat Sultan Kerajaan Indrapura sampai kepada ahli warisnya turun temurun.Dan apabila masuk ke Alam Kerinci, tempat tepatan peristrahatannya adalah berkedudukan di Dusun Rawang,  Sungai Penuh.
Dalam catatan Ranji, juga dituliskan keterangan, bahwa Tongkat beliau Sultan Gegar Alamsyah Tuanku Nan Berdarah Putih yang ditancapkan di muka rumah Kampung Dalam Indrapura, setelah kembali dari perjalanan melaksanakan perjanjian tersebut dengan takdir Tuhan,  hidup menjadi pohon beringin kemudian bernama Kayu Aro.
Menurut Peraturan di Kerinci dan Indrapura, tanah tempat perjanjian Karang Setia  ini dibuat dinamakan Tanah Menang,   sementara yang mengarang Karang Setia itu adalah Pangeran Kebaruh Di Bukit sehingga diceritakan bahwa yang mengadakan perjanjian adalah berempat, namun kalau di lihat dari keterangan tentang atap gonjong yang dibuat hanya tiga macam, maka jelas perjanjian itu  memang perjanjian segi tiga, tidak termasuk Pangeran Kebaruh Di Bukit, kecuali bertindak sebagai  pelaksana  saja.
Maka diguntinglah rambut Yang Dipertuan Sultan, untuk ditinggalkan di Kerinci, akan ganti batang tubuh Yang  Dipertuan dan Keris Malelo Pengarang Setia, yang juga disebut sebagai Keris Malelo Menikam Batu tatkala beliau naik ke daratan di Pulau  Langkapuri. Jadilah Keris itu  sebagai lantak bagantuang, akan ganti mulut  yang Dipertuan Sultan, sementara sarungnya kembali ke Indrapura.
Itulah sebabnya kemudian kenapa keturunan dan pewaris Kerajaan Kesultanan Indrapura yang terakhir Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, tetap mempertahankan dan membela keselamatan Tanah Kerinci dari rongrongan penjajah Belanda, yang beliau amanatkan pula kepada menantu beliau Tuanku Marah Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah seperti   yang telah diuraikan sebelumnya. Karena mengingat persumpahan  Karang Setia ini yang cukup berat. Bisa-bisa dimakan kutuk di makan laknat biso kawi, dikutuk Karang Setia, “padi ditanam lalang tumbuh, hidup segan mati tak muh.”  Wallahu  ‘alam bissawab.
Walaupun Kerinci pada waktu itu mempunyai pendirian bebas dan berdiri sendiri, yang dapat disimpulkan dari hasil persekutuan yang diadakan di Sitinjau Laut, dimana Indrapura dan Jambi mengakuinya sebagai daerah netral. Namun demikian, dalam kenyataannya memang pengaruh Jambi cukup besar sejak dahulu.
Dalam sejarahnya, di Kerinci ada empat kepala-kepala terkemuka yang merdeka sesamanya, yakni di daerah sepanjang Sungai Merangin. Kepala Daerah itu adalah Raden Serdang Gelar Depati  Muara Kangkab Tanjung. Di Pulau Sangkar dan Pengasih juga berkedudukan kepala daerah masing-masing  dengan gelar yang sama yakni Depati Biang Sari.
Daerah ini adalah di bagian tenggara Kerinci, yang disebut daerah Tiga Helai Kain. Sementara itu di Tanah Hiang, berkedudukan dan dikuasai seorang pimpinan daerah yang memiliki pengaruh besar dan penting yakni Indra Jati dari Dinasti Mangkudum Sumanik yang menguasai sehiliran Sungai Melas. Seginda Teras adalah kepala daerah  dari penduduk pribumi di Pengasih sedangkan Seginda Peniting, anak Raja Keminting berkedudukan di Pulau Sangkar.
Inilah Empat Dipati, yang menguasai dan memimpin Kerinci pada mulanya yang disebut Dipati Empat dimana Indra Jati, Dipati Batu Hampar yang diyakini berasal dari keturunan Dewa-dewa dihormati sebagai Pimpinan Utama.Namun dengan kedatangan Pangeran Temenggung Kebaruh di Bukit, yang bertempat tinggal di Muara Besumai, kemudian malakok kepada Raja Jambi waktu itu.
Oleh Raja Jambi ia ditugaskan untuk mengikat tali hubungan persahabatan dan perdamaian, dengan simbol pengikat Empat Potong Kain Sutra yang mahal, yang kemudian di potong-potong untuk dibagi-bagi pula kepada pemimpin-pemimpin setempat dalam daerah kekuasaan Indra Jati.
Maka terjadi pulalah daerah yang disebut Selapan Helai Kain di bagian Barat Laut Kerinci. Inilah yang kemudian disebut sebagai daerah Tiga Helai Kain  dan Delapan Helai Kain yang pada awalnya merupakan wilayah Depati Empat  dengan pimpinan Utamanya  Indra Jati, untuk mengimbangi kekuasaan dan pengaruh Jambi.
Namun setelah Perjanjian Si Tinjau Laut itu Depati Kepala terpaksa mengakui eksistensi  Jambi, dan merubah Dipati Empat, menjadi Depati Empat Pemangku Kelima. Dimana Pangeran Temenggung Kebaruh Di Bukit, diakui sebagai Pemangku Kelima.
Inilah lembaga yang mengurus secara resmi daerah Kerinci masa itu, sebagai wakil mutlak Pagaruyung, Urek Tunggang Alam Minangkabau.Kemudian Dipati Batu Hampar, Indra Jati dari Dinasti Makhudum Sumanik juga mendapat gelar lagi atas nama Raja Jambi sebagai Depati Atur Bumi. Dengan demikian memperkokoh kedudukannya di Tanah Hiyang Kerinci.
Namun anehnya Keturunan Ninik Gunung Merapi  yang dapat mengamankan dan mendamaikan peperangan yang terjadi di daerah ini pada masanya,  justru dianggap sebagai pelarian dari Minangkabau Pagaruyung, namun keramat dan dihormati  di Tanah Hiyang, Kerinci pada umumnya. Apa pasalnya ?
Barangkali akan dapat dijelaskan dalam kisah sejarah yang menyangkut Bundo Kandung, Dang Tuanku, dan Cindua Mato  dalam peperangan  menghadapi Tiang Bungkuk dan Imbang Jayo dari Ranah Sikalawi.
5.   Kesaksian Akhir  Sebuah Riwayat
Dari  Pasir Ganting, sebuah desa nelayan yang terletak dekat Muara Gedang yang dikenalnya dengan daerah Pertemuan Dua Muara  yakni pertemuan muara dua sungai dengan laut. Satu sungai yang mengalir lewat Muara Sakai Indrapura bertemu dengan sungai yang mengalir lewat negeri Air Haji, yakni sungai  Bentayan dan muaranya disebut Muara Bentayan. Pertemuan dua muara itu sekarang disebut juga Muara Gedang.
Dari sini Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah  dinaikkan ke atas boat milik K.P.M. yang datang dari arah Teluk Bayur, Padang menuju Batavia. Di atas boat ini sesaat waktu Sultan Muhammadsyah naik dan menginjakkan kakinya di atas kapal boat itu, Sultan menyampaikan petaruh, kato terakhir kepada semua anak kemenakan, handai taulan dan kaum kerabat yang menghantarkan beliau beserta seluruh rakyat desa Pasir Ganting yang ikut menyaksikan kepergian beliau.
Dalam pengawalan ketat oleh pasukan-pasukan Belanda yang berdiri di sisi Sultan, tanpa ragu-ragu dan  Sultan berkata dengan suara lantang : “Buat sementara sampai disinilah riwayat Kerajaan Indrapura.” Seluruh hadirin yang mendengarkan, baik yang berada ditebing-tebing pinggiran  pelabuhan dimana boat itu merapat,  maupun yang berdiri diatas geladak, tak terkecuali Belanda-Belanda itu, semuanya terpaku diam, tak bersuara. Dan selanjutnya  Sultan berkata :
“Raja Indrapura adalah Raja Syarak Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah, Bersatu Sultan dengan Rakyat, Beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam, ke Awang Tinggi , Pergi Satu, Tumbuh Seribu, Sebanyak Pasir di tepi laut, Hati  bagai Sega! Air Laut kan ganti Tintanya, Air Tawar kan ganti Gencunya, kan pembuat Riwayat Tanah Alam, untuk diingat-ingatkan dikala sekarang, dikala nanti, karena syarak punya Bersama, Allah Ta’ala menjadikannya.”
Kata-kata falsafah yang bermakna dalam ini, disamping diucapkan dalam dialek Indrapura, juga diucapkan Sultan dalam bahasa Belanda yang fasih dan lantang. Sehingga Belanda-Belanda yang mendengar berubah air mukanya. Lalu menyatakan kapal segera berangkat.
Setelah beberapa lama dan bersalaman dengan kaum kerabat yang mengantarkan dan melepaskan rangkulan perpisahan terakhir,   berangkatlah kapal yang membawa Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah ke tanah pembuangan, menuju Batavia.
Dan dengan demikian berakhir pulalah perjalanan Sejarah Kerajaan Kesultanan Indrapura, di bumi kekuasaan hukumnya sendiri, yang berwatas:  Sebelah Utara dengan Sikilang Air Bangis, sebelah Selatan dengan  Teratak Air Hitam sampai ke Ketaun Urai, sebelah Timur dengan Durian Ditakuk Rajo Pangkalan Jambu   Jambi, dan sebelah Barat dengan Lautan Samudera Pesisir Nan Panjang.
Kerajaan Kesultanan Indrapura di Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang  memiliki rentangan tali persaudaraan, sapiah balahan dan kuduang karatan zurriat keturunan dan persaudaraan sampai ke Singapura, Johor, Malaka, Negeri Sembilan, Serawak dan Brunei Babussalam, Banten, Gunung Serang, Yogyakarta dan Surakarta, sampai ke lingkungan perairan laut Selat Malaka, Aceh dan berbagai daerah di Nusantara ini berakhir sudah, diporak porandakan penjajah Belanda.
Demi sejarah, akankah dibiarkan saja sebuah monumen  dari mata rantai perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantara ini, setidak-tidaknya hal-hal yang menyangkut asal usul sejarah  masuk dan berkembangnya Islam dari Pesisir Barat Sumatera, yang kemudian naik mendaki ke pinggang Gunung Merapi, tampuk tangkai Alam Minangkabau yang sampai sekarang masih kokoh berdiri sebagai sebuah simbol pemersatu, kesatuan dan persatuan  Budaya Alam Minangkabau, di Sumatera Barat ini ?
Pada hal nilai-nilai budaya yang ditinggalkannya tentulah  dapat mengisi, menopang dan mengokohkan tonggak-tonggak sejarah budaya Indonesia yang sedang dibina menjadi sebuah corak bangunan budaya bangsa yang mengakar dalam kepribadian bangsa sendiri. Dan tentu pula dapat memperkuat daya tahan dan ketahanan bangsa terhadap tantangan pengaruh era globalisasi yang menjadi corak perpacuan perjuangan hidup masa depan bangsa dan negara.
Memang di akui, Indrapura yang terbenam ke lautan samudera Pesisir Barat, pantai Sumatera ini, sejak dahulu tersembunyi dalam kerahasiaan hutan belantara Pesisir Selatan, yang disebut sebagai orang Baruh.[36]
Namun anehnya, kenapa Indrapura pada zamannya selalu di buru dan dikuras dalam percaturan politik dagang lada,  yang mendapat ancaman sejak dari Portugis, VOC, Inggris, dan Belanda untuk merebut pengaruh di Pesisir Barat Minangkabau ini, dalam usaha mereka menguasai Darat, dan memonopoli perdagangan lada yang berakibat konflik terus menerus?
Pesisir Barat Minangkabau sejak dari pantai Air Bangis, Tiku Pariaman Padang, Sungai Nyalo,  Tarusan, Bayang, Salido, Batang Kapas  dan lain-lain bandarnya yang disebut Bandar Sepuluh  untuk daerah Pesisir Selatan jadi tidak aman masa itu, dengan akibat lainnya situasi itu juga merembes dan mendaki ke darat pedalaman, sampai ke Pariangan pinggang Gunung Merapi, ke Pusat Pulau Emas, yang waktu itu belum bernama Minangkabau.[37]
Sementara Aceh, yang ikut mempertahankan salah satu daerah inti kekuatan pertahanan wilayah Islam di Sumatera ini, dari rongrongan keserakahan kepentingan-kepentingan politik kolonial waktu itu, justru dituding sebagai penjajah Pesisir Barat Minangkabau, oleh sebagian penulis-penulis sejarah Minangkabau di Sumatera Barat ini.
Tenggelamlah Indrapura, Bandar Sepuluh, Padang, Ulakan, Pariaman, dan Tiku, dalam kemelut sejarah yang berkepanjangan. Begitupun merembes  jauh ke pedalaman yang mengakibatkan kemelut sejarah yang berlarut-larut pula, justru terjadi di pusat jala  Minangkabau itu sendiri yang sampai hari ini tetap diselimuti gumpalan kabut Gunung Merapi.
Bukti-bukti sejarah otentik, harta warisan kerajaan, pusaka-pusaka kebesaran sejarah masa lalu, benda-benda kerajaan yang memiliki pamor kesaktian, naskah-naskah tua , dokumen-dokumen sejarah dan gudang gudang harta Pulau Emas tenggelam ke dalam lumpur rawa Lunang-Selaut dan Indrapura,  terbakar di Pagaruyung.
Sementara itu, benda-benda antik pusaka kebesaran sebuah peninggalan kerajaan yang seharusnya dipelihara dan menjadi koleksi kekayaan benda-benda budaya di museum negeri, justru berada di tangan-tangan pemburu harta karun. Tak terselamatkan lagi.
Barangkali beberapa di antaranya, akan sangat berharga dipelihara dan dimusiumkan secara rapi untuk tidak kehilangan jejak sejarah. Beberapa situs peninggalan perlu mendapat perhatian serius, demi penelitian dan penulisan sejarah dan riwayat yang lebih lengkap oleh para ahli-ahli yang berminat untuk itu.

No comments:

Post a Comment