Iklan Adsense

Thursday, February 29, 2024

Kesultanan Indrapura (part 4)

 

II
Saksi dan Kesaksian Sejarah
1. Kesaksian Seorang Wartawan Belanda Tentang Pemakaman Terakhir Seorang Sulthan
“Pada malam hari tanggal 11 masuk 12 April 1891, meninggal dunia, Regen St. Muh Baki St. Firmansyah. Pagi itu juga berita kematian telah disampaikan para dubalang (penggawa) ke seluruh daerah. Beduk ditabuh terus menerus, disela oleh tembakan-tembakan meriam: Jenazah telah dimandikan dan dikafan secara Islam, telah di masukkan  dalam peti. Lalu di paku rapat. Jika masih ada lubang-lubang kecil ditutup dengan damar yang dipanaskan agar udara jangan keluar. Sebab menurut adat waktu itu jika seorang regen meninggal selagi berdinas, jenazahnya masih harus diatas bumi selama 7 sampai 14 hari. Tetapi kali ini telah dimufakati akan menahan jenazah St. Muh. Baki hanya 7 hari saja. Menurut protokol seterusnya, para penghulu harus mencukur rambut mereka. Maratok, menangis sambil berkata-kata tentu ada, tetapi hanya oleh saudara-saudara wanita dari yang meninggal, atau oleh para kemenakan perempuannya, atau para istri penghulu. Semua dengan rambut terurai, bahu dan lengan tangan terbuka. Sambil maratok, mereka bergerak perlahan-lahan, berpegangan tangan, mengelilingi jenazah yang diletakkan diruang tengah. Di tempat khusus itu, agak tinggi diatas lantai peti ditutup kain hitam dengan kuning pada pinggir-pinggirnya, pada keempat sudut karando ini berdiri  siang-malam, bentara berpakaian  serba merah, pedang terhunus di tangan. Di atas peti terpasang lilin. Terdengar tiupan serunai dengan gendang sesekali diselilingi letusan senapan atau meriam. Upacara maratok, sekeliling peti jenazah dilakukan 3 kali siang dan 3 kali pada malam  hari, tiap kali selama kurang lebih setengah jam. Begitulah berjalan seminggu lamanya.
Hari Minggu tanggal 19 April 1891 kita hadiri upacara penguburan. Peti jenazah diangkut dari rumah duka dengan apa yang dinamakan Maracu alam, dipikul oleh beberapa ratus orang dibawah semacam langit-langit setinggi kurang lebih 5 meter persegi panjang, dengan hiasan berbagai bentuk dibuat dari kertas emas, seluruhnya ini masih dipagar lagi dengan kain kuning hingga dari luar kelihatan tertutup. Di dalamnya ikut berjalan empat wanita tua, bertugas menjaga jenazah. Di luar, dua orang masing-masing dengan carano berisi beras kuning dan mata uang yang sekali-sekali dilempar ke atas kepala orang yang berdiri di pinggir jalan, untuk memberi penghormatan terakhir. Di bagian depan, sebuah meriam ditarik beberapa ekor kuda, kemudian bendera dan panji-panji, diikuti oleh calon pengganti regen, Marah Rusli St. Abdullah, barulah dibelakangnya maracu alam. Di belakangnya lagi orang-orang agama, imam, khatib, bilal dan lain-lain.dan terakhir sekali rakyat biasa. Selama perjalanan ke kuburan selalu kedengaran pengajian yang dilakukan sedikitnya 300 orang, bunyi beduk dan gendang, terus menerus, juga dentuman meriam. Kira-kira pada pukul 6 sore dengan dentuman meriam terakhir, rakyat tahu bahwa Marah Muh. Baki St. Firmansyah telah dikebumikan.”[18]
Rusli Amran menganggap bahwa itulah Pemakaman terakhir seorang regent  di Indrapura dengan upacara lengkap.[19] Betulkah upacara pemakaman itu dilakukan untuk seorang regent yang diangkat Belanda? Apakah semua regent yang meninggal dunia dalam tugas, mendapat kehormatan dengan upacara kebesaran pemakaman secara adat tradisi yang lengkap seperti itu?
Sebuah kearifan barangkali pantas untuk diperhatikan. Walau disadari, memang, banyak data dan bukti-bukti sejarah yang hilang,  dan tidak sempat diwarisi. Namun jelas itu adalah sebuah upacara kebesaran pemakaman secara adat kebesaran seorang sulthan dari keturunan raja-raja Melayu di Minangkabau yang tak dimiliki oleh seorang regent atau Belanda. Pemakaman seorang tokoh pemimpin pribumi dengan upacara adat yang menggetarkan lawan dan kawan.
Siapakah St. Muh. Baki St. Firmansyah[20] yang dimakamkan dengan segala upacara kebesaran  adat, dan agama yang perlu diabadikan dalam sebuah tulisan sebagai sebuah laporan peristiwa langka dan nyata?
Itulah sebuah upacara kebesaran adat pemakaman raja-raja yang disegani, dihormati dan dicintai rakyatnya di Indrapura, bahkan di Minangkabau untuk terakhir kalinya yang tak terulang lagi. Dan satu-satunya, bukti sejarah pemakaman raja-raja Melayu Kampung Dalam  di Minangkabau dengan segala kebesaran adatnya yang masih ada, dan sempat direkam oleh seorang Belanda yang mengagumi dan menyegani serta menghormati kebesarannya. Itulah  simbol Penguasa Pesisir Barat Mingkabau di zamannya, pewaris terakhir Kesultanan,  Kerajaan Usali Indrapura: Sultan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah yang memerintah pada tahun 1860-1891 M.
Sultan Mohammad Bakhi, Gelar Sultan Firmasyah, adalah mata rantai kenangan sejarah yang memiliki arti tersendiri, Kunci Penutup dari sebuah riwayat perjalanan sejarah Induk Kerajaan-Kerajaan Islam, Kesultanan Tertua dikawasan Nusantara ini. Beliau adalah turunan terakhir yang resmi mewarisi Sultan-Sultan Usali Indrapura.
Beliau dipanggilkan Tuanku Belindung dan Tuanku Sembah oleh rakyat, dan sanak kemenakannya yang mencintai, menyegani dan patuh kepadanya. Memiliki kekuatan dan keta’atan pelaksanaan syariat nilai-nilai ajaran Agama Islam yang teguh. Julukan Tuanku Sembah berasal dari kalimat Tuanku Sembahyang, artinya Tuanku sedang sembahyang . Karena banyak beribadat, berdzikir kepada Allah Swt. Sehari-hari lebih banyak ditemui  duduk di tikar sembahyang.
Beliau Suthan mewarisi kerajaan dan  Naik Nobat pada tahun 1861 secara syah berdasarkan ketentuan-ketentuan Kesultanan Kerajaan Usali Indrapura.
Menerima waris dari Mamaknya, yakni dari beliau Sultan Mohammad Arifin, Gelar Sultan Muhammadsyah, memerintah pada tahun 1840-1860 M, yang juga dijuluki dengan Gelar Tuanku Belindung,Tuanku Sembah.[21]
Menurut riwayat [22], Sulthan Mohammad Arifin Gelar Sulthan Muhammadsyah, adalah putra dari Tuanku Gandamsyah, Raja di Muko-Muko dengan ibunya bernama Tuanku Putri Jusma Cahaya Alam Ratu (XI) Kerajaan Indrapura.[23]
Sulthan ini tidak mempunyai keturunan, kemudian digantikan oleh adik kandungnya Putri Sri Hati Bintang Alam, Raja Perempuan (XII) Kerajaan Indrapura, yang kelak Putri Bangun Raja Perempuan (XIII) Indrapura, ibu kandung Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah.
Putri (Sri) Bangun kawin dengan anak raja Muko-Muko, tinggal bersama suaminya di Birun, Pangkalan Jambu mengusahakan tambang emas di Sei Birun, Air Bahan, dan Gunung Urai.[24]  Sulthan Mohammad Bakhi lahir di Pangkalan Jambu, Kampung Birun.
2.  Kesaksian  Sebuah Berita  Kerajaan Terakhir
Tersebutlah isi dari sebuah berita Kerajaan Indrapura bahwa Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah telah mempersiapkan calon pengganti beliau sebelum wafat. Menantu beliau Marah Rusli, dinobatkan beliau sebagai pengganti untuk memegang Indrapura, dengan memangku gelar pusaka : Sultan Muhammadsyah. Betulkah begitu ?[25] Ternyata Marah Rusli diangkat Belanda sebagai Regent Indrapura pada tahun 1892.
Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah dikenal sebagai seorang Sulthan yang teguh pendirian, satria pejuang, yang berwibawa dan gagah perkasa namun tunduk dalam ketaqwaannya kepada Allah Swt.  Sebelum beliau wafat, beliau meninggalkan pesan-pitaruh dan amanah kepada calon pengganti beliau Marah Rusli Sulthan Muhammadsyah.
Karena selama hidup Sulthan Mohammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah, merasa dan memandang V.O.C dan bangsa asing lainnya hanya akan mendatangkan huru-hara dan balapetaka saja, seperti pernah terjadi dan didengar beritanya dari perjalanan sejarah Aceh menghancurkan Portugis di Selat Malaka dan tempat-tempat lainnya yang  digerayangi Belanda dan Inggris.
Demikian pula dari Sekilang Air Bangis, Tiku, Pariaman sampai Padang telah dijarah dengan sistem monopoli dagang VOC yang dilindungi kekuatan pasukan bersenjata kompeni Belanda.
Sulthan menganggap, sebenarnya Belanda ingin merebut kekuasaan di Pesisir Barat Sumatera ini  dan ingin melebur dan menghancurkan Kerajaan Indrapura selebur-leburnya yang selama berabad-abad tersembunyi bagai sebuah mutiara yang menyimpan  kunci rahasia kekayaan dan kejayaan Pulau Emas, dengan warisan kekuatan spirit  yang susah dijamah.
Karena itu sebelum wafat, beliau meninggalkan pesan dan amanah yang tegas, menggetarkan setiap orang yang mendengarnya, ditujukan kepada pengganti beliau yang diangkat Belanda sebagai Regent Tuanku Marah Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah, bahwa daerah Kerinci tidak boleh diberikan  kepada Belanda, atau kepada siapapun, bagaimana pun yang ingin untuk menjajah. Sejengkal Tanah Kerajaan Indrapura yang telah dibina oleh nenek moyang terdahulu tidak boleh jatuh ke tangan penjajah.
Selanjutnya amanah itu dikunci  dengan ikrar yang beliau ucapkan sendiri dengan suara lantang :
“Apabila daerah Kerinci jatuh ke tangan Belanda, siapapun yang berbuat, sedalam-dalam bumi, setinggi-tinggi langit ke ateh dak ba-pucuk, ke bawah dak ba-ughek, ditengah-tengah dighakuk kumbang, bak pacang di tengah tabek, bak kaghakok tumbuh dibatu, idut segan mati dak muh, bia sighah tanah penggalian, bia tababu kuning liang laat, bia punah dek asok meghiam, akan dimakan kutuk dimakan laknat, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.”[26]
Indonesianya :
(Apabila daerah Kerinci jatuh ke tangan Belanda, siapapun yang berbuat, sedalam-dalam bumi, setinggi-tinggi langit ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berurat di tengah-tengah digaruk kumbang, bak pancang di tengah tebat, bak karakok tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, biar merah tanah penggalian, biar tertebar kuning liang lahat, biar punah kena asap meriam, akan dimakan kutuk dimakan laknat, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.)
Itulah pesan pitaruh dan amanah seorang Sulthan kesatria pejuang, yang jujur, berani dan gigih membela dan mempertahankan sejengkal tanah airnya,  sejengkal tanah ulayat negeri ini. Yang tidak mau menjual negerinya demi sekedar mempertahankan harga dirinya sebagai seorang Sultan, yang mengawal Pesisir Barat Sumatera kepada siapapun yang ingin menggerogoti tanah air, tanah ulayat leluhurnya secara tidak hak.
Tuanku Rusli,  pengganti yang  bertanggung jawab  terhadap Kerajaan Indrapura,  menerima sumpah berat itu dengan tugas dan tanggung jawab yang wajib dilaksanakannya. Pada akhirnya harus ditebus dengan cara terhormat. Beliau ditangkap dan secara paksa dalam sebuah pengawalan yang ketat oleh pasukan Belanda, dibawa dihadapan  pandangan mata anak kemenakan, rakyat dan karib kerabat keluarga Kerajaan Indrapura yang berlinang air mata keperihan dan kepedihan. Diangkut dengan sebuah kapal boat dari pantai Muara Bentayan, Pasir Ganting Indrapura menuju daerah pembuangan. Baru 5 tahun menjalani pembuangan, beliau akhirnya wafat di Batavia, pada tahun 1938.  Inna Illahi wa ‘inna ilaahi raji’un.
Sebagai isyarat hanya tanah badan beliau yang dipindahkan kemudian oleh keluarga almarhum ke pandam pekuburan zurriat keturunan raja-raja Indrapura di Tepat Ustano Ghobah Tandikat Kampung Dalam Indrapura.[27]
Menurut Djanuir, tahun 1933, adalah kenangan peristiwa bersejarah yang dapat dicatat rakyat Indrapura pada zamannya. Peristiwa yang sangat menyedihkan seluruh keluarga, anak kemenakan dan rakyat Indrapura. Dengan menyeret dan menangkap seseorang yang masih dianggap batu penghalang  kepentingan Belanda di Sumatera Barat, yang masih memegang tampuk kekuasaan sesuai kondisi dan kedudukan Indrapura waktu itu. Indrapura adalah panglima pengawal, dan penguasa wilayah Pesisir Barat Minangkabau, yang praktis berdiri sendiri.
Anehnya, Tuanku Rusli, walaupun  sudah diberi pangkat dan kedudukan sebagai Regent Indrapura oleh  Belanda, namun tetap bagai duri dalam daging  bagi tubuh Kompeni Belanda. Akhirnya kedudukan Regent yang diberikan Belanda berubah menjadi Lambang Mati, sedikit demi sedikit, dengan cara memutuskan mata rantai tangan-tangan kekuasaannya.[28] Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah, yang konon karena urusan pribadi dengan Comandeur Belanda  bernama Marskveen, diberhentikan dari jabatannya sebagai Regent Indrapura pada  bulan  Agustus  1911.[29]
Tuanku Rusli Sultan Muhammadsyah disarankan  untuk meninggalkan  Indrapura, hidup dan tinggal di Batavia., yang menurut Belanda akan diberi kesempatan belajar sampai kepada anak kemenakan dan rakyat Indrapura. Karena tidak  mau, akhirnya Belanda menangkap dan memaksa Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah meninggalkan Indrapura menuju tanah pembuangan  di  Batavia.[30]
Begitulah penjajahan Belanda melumpuhkan kekuasaan kerajaan sampai selumpuh-lumpuhnya. Mengikis habis sebuah sumber riwayat tanah alam negeri ini. Riwayat  sebuah Kerajaan Melayu Tertua di Nusantara ini, dan walaupun itu hanya untuk memelihara  pusaka dan pusara nenek moyang sendiri. Indrapura kemudian  hanya dijadikan  negeri saja  dan diangkat seorang Hoof Negeri [31] yang dipilih dari Penghulu Mantri Yang Dua Puluh Indrapura.
Buat pertama kalinya tahun 1918 sebagai Kepala Negeri adalah Sutan Gandam Gelar Rangkayo Maharajo Gedang.[32] Masa jaya Indrapura berakhir secara tragis dibawah kesewenang-wenangan  kolonial Belanda, hingga hancur lebur, tenggelam ke dalam rawa sejarah.

No comments:

Post a Comment