Iklan Adsense

Thursday, February 29, 2024

Emral Djamal : Penulis Sejarah Kesultanan Indrapura

Emral Djamal Dt. Rajo Mudo,  lahir 22 Maret 1944  di  Koto Berapak Bayang, Pesisir Selatan. Pendidikan terakhir Fipia Unand  Padang (1964-1970). Pernah berkecimpung dalam dunia perdagangan farmasi di Sumut – Medan, Riau -Pekan Baru, dan Sumbar – Padang (1970 – 1974) yang kemudian ditinggalkannya, lalu memangkal di Taman Budaya Padang.
Aktif dalam dunia seni budaya, dengan mengikuti berbagai forum diskusi, seminar dan sebagai pengamat berbagai pagelaran seni budaya Minangkabau di Sumatera Barat.
Mantan anggota Dewan Kesenian Sumatera Barat,  menulis di beberapa harian dan tabloid terbitan Padang, juga   sering membacakan puisi-puisinya dalam kumpulan  Rindu Dan Bayang-Bayang Putih, bersama sahabatnya A.Caniago Hr. Dt. Rajo Sampono (alm.) di Taman Budaya, dan pada acara acara  yang diselenggarakan  BKKNI Sumatera Barat.
Layang-layang Darek merupakan kumpulan puisinya yang diterbitkan Dewan Kesenian Sumatera Barat, 2000. Kemudian Kulindan Sumur Tua  merupakan kumpulan puisinya yang sedang dipersiapkan.
 
Mengikuti  Pertemuan Sastrawan Nusantara IX- Pertemuan Sastrawan Indonesia, l997 di Kayu Tanam , Sumatera Barat  Selain di berbagai temapt di Sumatera Barat, ia juga membacakan puisi-puisinya di Malaka, Selangor dan Kuala Lumpur, Malaysia.
Mengikuti Lokakarya kepenulisan pada Perkampungan Penulis GAPENA Nusantara, l999 di Malaka, dan Pertemuan Sastrawan Nusantara X-Pertemuan Sastrawan Malaysia I, 1999 di Negeri Johor Darul Ta’zim, Malaysia. Ikut serta mengadakan persembahan pada Pusat Kebudayaan Universiti Malaya, Dewan Bahasa Dan Pustaka, dan pada berbagai tempat di Kuala Lumpur.
Mengajar falsafah Budaya Alam Minangkabau pada kursus yang ddselenggarakan oleh Sanggar Teater Fauziah Nawi Sdn. Berhad, Selangor Darul Ehsan  bekerjasama  dengan  Akademi Penulis Nasional Malaysia  di Rumah PENA (Pusat Penulis Nasional)  Kuala Lumpur,  Januari – Juli, 2000.
Di rumahnya, penulis adalah seorang Pewaris Pendiri Guru Besar, dan Pengasuh Utama Sasaran Silat Salimbado  Bayang, dan Grup Studi Kajian  dan Penelitian Tradisi Budaya Alam Minangkabau, khususnya kajian nilai-nilai falsafah Pencak Silat Tradisi Minangkabau, Sumatera Barat. Pada zamannya dikenal sebagai Silek Minang, Basilek Di Pangka Karih Mamancak Di Ujuang Padang,  Sumatera Barat.
Sejak 1981 aktif  di Pengda IPSI Sumatera Barat  sampai sekarang . Sejak tahun 1990 mengikuti berbargai Penataran Juri Pencak Silat di Padepokan Pencak Silat, TMII Jakarta. Pernah mengkuti Konvensyen Silat Nusantara II, di Institut Teknologi Mara, Selangor Malaysia, 1995.
 
Mantan Juri  Nasional/ Internasional  Pencak Silat Seni dan Bela Diri  sejak tahun 1992 ini juga mengikuti Parade Pencak Silat Seni, 2002 di Den Pasar Bali sebagai Pengarah Teknis, dan menyelenggarakan Gelanggang Silih Baganti X IPSI Sumatera Barat, sebagai Pengarah Teknis di Solok. Sekarang aktif di Pengda IPSI Sumatera Barat sebagai Ketua Unit Khusus Galanggang Siliah Baganti IPSI Sumatera Barat.

[1] Emral Djamal Dt. Rajo Mudo. 1996. Tulisan Pendahuluan ini merupakan revisi dari pada tulisan awalnya yang berjudul :  Menelusuri Jejak Lamin-Lamin Sejarah Alam Minangkabau : Kesultanan Indrapura, Teluk Air Dayo Puro di Pesisir Selatan. Dimuat secara bersambung pada Mingguan Singgalang, Tahun 1996.
[2] Djanuir Chalifah. 1974. Bundo Kandung Pulang Ke Negeri Asal. Majalah Kebudayaan Minangkabau (MKM) No. 1 Th.1974.
[3] Djanuir Chalifah. Ibid
[4] Djanuir Chalufah. Ibid
[5] Amura. 1979. Majalah Kebudayaan Minangkabau (MKM) No.10 Th. 1979 : 4.
[6] Amura. Ibid : 6-9
[7] Amura. Ibid : 6-9
[8] Penulis mengikuti berita tayangan TPI siang, jam 13.00 WIB, Kamis tanggal 16 November 1995, tentang Komplek Makam Dan Rumah Gadang Mande Rubiah di LunangPesisir Selatan.
[9] Muara Sakai merupakan pelabuhan tertua dijalur pantai pesisir barat Sumatera, dan konon teluk yang terdapat di muara sungai tersebut dikenal pada zamannya dengan nama Samuderapura.
[10] Rusli Amran. 1981:228. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan. Jakarta,1981.
[11] Rusli Amran. Ibid : 228
[12] Di pedalamanan Minangkabau Sumatera Barat sampai sekarang masih ada kaum pesukuan yang menamakan dirinya sebagai Suku Malayu Tapi Aie (Melayu Tepi Air).
[13] Harian Kompas Minggu. 1981
[14] Nama asli pulau Sumatera yang tercatat dari sumber Tambo Silsilah Minangkabau adalah Pulau Emas, atau Tanah Emas dalam bahasa Sansekerta disebut Suwarnadwipa dan Suwarnabhubmi. Ini didapati tertulis pada berbagai prasasti di Sumatera. I-tsing pada abad ke 7 menyebut pulau Sumatera dengan Chinchou untuk arti Negeri Emas.  Kata chin-chou sampai sekarang masih terpakai pada kata kin -ceu  yang menjadi  kerinci.
[15] Nia Kurnia. Ibid : 83
[16] Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan Jakarta, 1981.
[17] Rusli Amran. 1986. Padang Riwayatmu Dulu. Mutiara Sumber Widya. Jakarta 1986.
[18]Ceritera di atas merupakan laporan pandangan mata seorang wartawan Belanda, yang bersumber dari terbitan salah satu surat kabar di Padang, yaitu Padangsch Handelsblad bulan Oktober 1881. Ditulis oleh Arnold Snackey, dikutip bebas oleh Rusli Amran. Ibid : 1986 : 136-138.
[19] Rusli Amran. Ibid
[20] Tulisan nama ini berdasarkan catatan Rusli Amran. Ibid. Maksudnya lengkapnya sama dengan Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah.
[21] Gelar ini diberikan oleh masyarakat karena kharisma beliau sebagai seorang pemimpin yang alim lagi taat beribadah.
[22] St Abdul Hadi. Ibid. Ada perbedaan antara keterangan Abdul Hadi dengan yang terdapat dalam Ranji Usli Indrapura. Yakni tentang ibu Sulthan Mohammad Arifin, dikatakan adalah Putri Mayang Sani.Di dalam Ranji Usli Undrapura Putri Mayang Sani adalah nenek moyang Sultan, bukan ibunya.
[23] Catatan ini terdapat juga dalam Ranji Tinggi Indrapura, sesuai dengan keterangan Sutan Burhanoedin gelar Sultan Firmansyah Alamsyah. Catatan tahun 1989..
[24] Gunung Urai disebut orang Gunung Batuah. Tambang-tambang emas di wilayah Pangkalan Jambu adalah milik Putri Sri Bangun, nama panggilannya Putri Bangun. Suami istri meninggal dan dimakamkan  di tengah sawah miliknya sendiri di Birun.
[25] Menjelang hayatnya Sultan Muhammad Bakhi Gelar Sul tan Firmansyah, meninggalkan amanat pada Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah di hadapan Penghulu Mantri Yang Dua Puluh dan dihadapan Mangkubumi yang bernama Kabat Gelar Maharajo Iddin :
“Hai Rusli, jika kamu diangkat Belanda, jadi ganti aku? … dst. Sutan Abdul Hadi. 1975. Kisah Kerajaan Air Pura. Makalah.
[26] Djanuir Chalifah. Ibid
[27] Djanuir Chalifah. Ibid 76-78
[28] Pada tahun1899 semua Tuanku Panglima dan Tuanku Bandaharo di Padang dan Mangkubumi di Indrapura diberhentikan dari jabatannya oleh Pemerintah Hindia Belanda dan tiada berkuasa lagi. Cuma Regent Indrapura saja yang masih berjabatan Regent. Maksud Belanda karena Tuanku Rusli Regent Indrapura diperlukan untuk memasuki daerah Kerinci. Sementara Indrapura sendiri telah berada dibawah kekuasaan Belanda sejak tahun 1901/1902 dengan menempatkan Tuan Manupassa sebagai Kepala Pemerintahan Belanda.
[29] Menurut keterangan yang lain tepatnya tanggal 11 Maret 1911 Regent ini diberhentikan,  berdasarkan Surat Pemberhentiannya.
[30] Djanuir Chalifah. Ibid
[31] Indrapura dijadikan Kenagarian yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri, dan sejak tahun 1918, Indrapura menjadi salah satu negeri dalam Onderdistrict Tanah Tiga Lurah, termasuk Tapan, Lunang dan Selaut. Dikepalai oleh seorang Assistant Demang.
[32] Sutan Abdul Hadi. 1975. Kisah Kerajaan Air Pura. Makalah.
[33] Purnawirawan ABRI, anak kandung Putri Gindan Dewi Alam di Melayu Tinggi Kampung Dalam Indrapura
Berdasarkan sejarah (Historis Rech) Kesultanan Kerajaan Indrapura oleh Lembaga Penghulu Mantri, Kerapatan Adat Kenagarian Indrapura, Kecamatan Pancung Soal Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat Telah diterangkan sebagai Ahli Waris Syah, ex. Kesultanan Kerajaan Indrapura, berdasarkan Surat No. 29-ist/KAN-1975 tertanggal 9 Mei 1975.
[34] Datuk Rajo Penghulu. 1983 : hl. 215. 208-218.  Minangkabau Sejarah Ringkas Dan Adatnya. Menurut keterangan dalam Bab XII, hal. 208 – 218,  Datuk Rajo Penghulu menjelaskan bahwa transkripsi Perjanjian tersebut diturunkan secara bebas,  dengan tidak mengubah isinya. Peristiwa perjanjian ini juga sudah dicatat dalam buku Keterangan Geografi dan Etnologi dari Daerah Kerinci, Serampas Dan Sungai Tenang yang disusun oleh E.A. Klerks, Kontrolir Kelas I pada Penerintah Dalam Negeri, 1895.
[35] Emral Djamal. 1989. Transkripsi Naskah Ranji Silsilah Sultan-Sultan Kerajaan Indrapura.
[36] Ada dua pengertian tentang nama Baruh ini. Pertama, Baruh atau Baruah dalam artian hilir. Ke Baruah  maksudnya ke hilir, ke selatan. Kedua, Baruah dalam artian Barus. Pesisir Selatan juga pernah disebut sebagai daerah Sehiliran Batang Barus, sebuah sungai yang mengalir di sepanjang wilayah Koto XI Tarusan, yang sekarang bernama Batang Tarusan. Jadi orang Baruah adalah orang dari Sehiliran Batang Barus, orang Hilir, atau orang Selatan,  Pesisir Barat Sumatera Barat.
[37] Kisah ini terdapat dalam kaba Tareh dan Tambo Bungka Nan Piawai berkenaan kisah Perang Naga Dari Laut Pesisir Barat Sumatera.
[38] Ranji Tinggi Indrapura, Sutan Boerhanoeddin, Ibid.
[39] Menurut keterangan Adat Monografi Indrapura, kerajaan ini terbentuk dalam tahun Hijrah Muhammad 400 (abad ke IX M) didirkan oleh Sultan Muhammadsyah anak bungsu dari Sultan Seri Maharaja Diraja. Sementara Sri Sultan Daulatullah Ibnu Sultan Dzulkarnain, berkedudukan di Air Pura.
Letaknya negeri Air pura itu, di seberang sebuah anak sungai bernama Air Batang (Bantaian).  Nama kampung semasa itu disebut:

Pelokan Hilir, Pelokan Tinggi, Cendano Jenggi, Tanah Paut, Kampung Pinang, Lubuk Kudo Tajun, Kelapa Serumpun, Tapan Lubuk Durian, Lubuk Aro, dan Batu Batangkup.

Pada masa itu banyak berdatangan orang-orang Hindu, Campa, Jawa, Gresik dan Sriwijaya, Jambi dari Sehiliran Batang Hari, Cina, dan Bugis Makasar, dalam usaha perdagangan lada lilin lebah dan rempah-rempah lainnya.

[40] Dt. Perpatih Nan Sabatang (yang sewaktu muda bernama Sutan Balun) meninggalkan negerinya, lalu pergi ke negeri ayahnya di Teluk Muar Campo, disinilah ia belajar dan menimba ilmu.
Setelah beberapa tahun ia kembali ke Pagaruyung. Kemudian terjadi lagi pertengkaran, yang melahirkan ceritera Batu Batikam. Datuk Perpatih meninggalkan Pagaruyung kembali,  lalu pergi ke Teluk Air Pura, terus kemudian pergi  pula ke Bukit Seguntang.
[41] Emral Djamal. 1989. Ibid. Transkripsi Ranji
[42] Pada masa itu belum ada nama Minangkabau, tetapi disebut Ranah Tigo Jurai. Dalam  tradisi kaba,  masa itu disebut : “Masa  sebelum ber-Toboh Pakandangan, belum ber-Sintuk Lubuk Alung, belum ber-Tiku Pariaman, belum ber-Padang Bandar Sepuluh, belum ber-Daulat Pagaruyung, belum ber-Daulat Alam Minangkabau. Hanya yang ber-Daulat masa itu bernama Mahkota Sultan Taj’ul Alamsyah di Pariangan Padang Panjang, di lereng Gunung Marapi, Lagundi Nan Baselo, Sawah Gadang Satampang Banieh, Di Bukit Seguntang-Guntang. Tempat itu  dihuni oleh Dang Malini dan Dang Ambun. Kemudian diketahui oleh Sultan Daulatullah bahwa ketiga anak raja tersebut adalah anak adiknya sendiri. Daulatullah Sri Sulthan Maharaja Diraja, inilah yang berangkat ke Gunung Merapi Pariangan Padang Panjang dan jadi Raja di sana bersama tombongannya serta Candokio kemudian bergelar Datuk Suri Dirajo (jauh sebelum Dt. Suri Dirajo zaman Perpatih) bekas raja negeri Hindu sebagai sahabat karib dan penasehat.
[43] Emral Djamal, 1989. Transkripsi Ranji. Ibid.

[44] Walaupun terdapat berbagai variasi dalam penulisannya, namun pada prinsipnya wilayah kekuasaan Sultan-Sultan Kerajaan Taj’ul Alam yang berpusat di lereng Gunung Merapi merupakan bukti sejarah yang faktual tentang keberadaan Kerajaan Islam  yang pertama di Nusantara ini, dan ada kemungkinan lebih awal dari pada Kerajaan Perlak di Aceh.

[45] Pagaruyung yang dikenal sekarang  pada awalnya adalah tempat kedudukan Adityawarman, seorang pewaris tahta kerajaan Dharmasyraya di Siguntur, Pulau Punjung. Yang kawin dengan Puti Reno Jalito, menjadi “urang sumando nan dirajokan” oleh mamak rumahnya Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan, di Pariangan. `    Adityawarman mencoba membawa konsep kerajaan Hindu Budhanya ke Pariangan, yang nyata-nyata ditolak oleh kedua Datuk tersebut, dan secara halus menempatkannya pada sebuah wilayah bernama Surawasa,  yang kemudian pindah mendirikan Balai Janggo di Ujung Kapalo Koto, Melayu Kampung Dalam. Kelak kemudiannya baru bernama Pagaruyung. Sebelumnya nama Pagaruyung juga terdapat di Indrapura, Pesisir Selatan  dan di Kumanis, Tanah Datar dengan kisah tersendiri.

[46] Di lereng Gunung Merapi beberapa kali terjadi perpindahan pusat kerajaan, sejak dari Sandi Laweh, Pasumayam Koto Batu, Lagundi Nan Baselo, Pariangan Padang Panjang, Limo Kaum, Sungai Tarab, Bungo Satangkai, Bukit Batu Patah, Saruaso,  dan akhirnya berpusat di Pagaruyung,  Ranah Tigo Balai.

[47] Edaward Djamaris.Ibid. Bab VII : hl. 408-410.
[48] Raja Ali Haji,. 1965 : 69. Tuhfat Al-Nafis.
[49] Pada saat buku Sejarah Melayu tersebut ditulis oleh Tun Sri Lanang, sebenarnya yang jadi raja di Aceh bukan lagi Iskandar Muda, tetapi seorang keturunan raja dari Malaka yang jadi menantu Iskandar Muda. Pangeran ini juga bernama Iskandar, yakni Iskandar Tsani suami dari Ratu Syafiatuddin, putri dari Raja Iskandar Muda. Itulah sebabnya  raja Aceh dan raja-raja selanjutnya juga menyatakan keturunan Iskandar Dzulkarnain.
[50] Dikisahkan dalam buku itu tentang Iskandar Dzulkarnain, seorang raja besar yang sampai menjelajahi anak benua India sekarang. Iskandar Dzulkarnain menikah dengan seorang putri anak Raja Kida Hindi, yang dari pernikahan ini melahirkan Raja Suran. Dimasa kecilnya Raja Suran diasuh oleh moyangnya Raja Aktabu’l  Ardhi yang bersemayam di negeri Dasar Lautan.
Raja Suran kelak kemudiannya mempunyai tiga orang putra,  Nila Pahlawan, Nila Pandita dan yang bungsu  bernama  Nila Utama. Silsilah Raja Suran secara lengkap telah disusun  dalam  Asal Usul Raja-Raja Melayu Disarikan Dari Sejarah Melayu Edisi Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Singapura 1831. (TD. Situmorang dan Prof. Teeuw, Jakarta 1958).
Ketiga anak Raja Suran ini dengan mengendarai lembu melakukan perjalanan sampai ke Bukit Seguntang Mahameru. Ketika itu, Nila Utama yang sedang  mengendarai lembu, membuat dua wanita yang tinggal di sana, yakni Wan Empu dan Wan Malini terheran-heran, karena dari si pengendara lembu itu memancarkan sinar kemilau yang bercahaya-cahaya membuat semua padi di sawah menjadi emas, berdaunkan perak, dan batangnya tembaga suasa.
Maka Wan Empu dan Wan Malini bertanya kepada ketiga pemuda tampan itu tentang asal usulnya, yang dijawab oleh salah seorang diantara mereka bahwa mereka adalah bangsa manusia juga, berasal dari anak cucu Raja Iskandar Dzulkarnain,  nisab mereka dari pada Raja Nusyirwan Adil,  raja masyrik dan maghrib dan pancar dari pada Raja Sulaiman Alaihis salam.
Dan dengan takdir Allah Ta’ala,  dari mulut lembu kenaikan mereka itupun memuntahkan buih, dan dari buih itu keluarlah seorang manusia laki-laki dinamai Bat berdiri memuji anak raja tersebut. Maka anak raja itupun digelari oleh Bat dengan nama Sang Sapurba Taramberi Teribuana.
Nila Pahlawan kemudian menikah dengan Wan Empu, dan Nila Pandita menikah dengan Wan Malini. Sedangkan, Nila Utama yang digelari Sang Sapurba, kemudian menikah dengan Wan Sendari anak Demang Lebar Daun, Raja Palembang. Dari perkawinan ini Nila Utama Sang Sapurba beranak empat orang, dua orang perempuan bernama Putri Sri Dewi, dan Putri Cendra Dewi.  Serta dua orang putra bernama Sang Maniaka, dan seorang lagi  putra bungsunya yang kemudian juga bernama Nila Utama. Nila Utama  putra Sang Sapurba ini kelak berlayar menuju pulau Temasik, yang kemudian dikenal dalam sejarah Melayu sebagai pendiri dan Raja pertama Singapura yang berkuasa pada tahun 1300 – 1348 M.
Putra Sang Sapurba yang juga bernama Nila Utama pendiri Singapura itu, akhirnya menjadi cikal bakal asal-usul keturunan raja-raja di Semenanjung Malaya, di antaranya Raja Malaka.
[51] Hal ini dapat dilihat  dari riwayat anak bungsu Nabi Adam A.s. yang bernama Siyst yang tidak punya jodoh, kemudian kisahnya langsung melompat sampai kepada Sultan Sri Maharajo Dirajo di Minangkabau. Agaknya cerita yang demikian merupakan sebuah penggalan yang terputus.
[52] Sultan Usmansyah Gelar Sultan Muhammadsyah, pada zamannya berdiri kerajaan Indrapura yang sebelumnya bernama Kerajaan Air Puro, yakni abad ke 13, tepatnya 10 April 1326.
[53] Sri Sultan Usmansyah gelar sultan Firmansyah wafat pada tahun 1556 berkubur di Pulau Raja.
[54] Sulthan Inayatsyah, juga bernama Sulthan Hidayatullahsyah, memerintah negeri Padang setelah wafatnya Muhammad Jaya Karma Gelar Sulthan Firmansyah di Indrapura.
[55] Dalam Ranji, dijelaskan bahwa beliau disebut dengan panggilan Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah KerajaanIndrapura. Setelah wafat Sutan Hidayatullahsyah (1840) di Indrapura, Sultan Belindung ini langsung memerintah negeri Padang, memimpin pemerintahan Penghulu yang Delapan Selo, Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Nan Dua Puluh  di Padang.
[56] Sultan terakhir dari riwayat raja-raja Kesultanan Indrapura. Belanda menunjuk menantu beliau Marah Rusli Gelar Sultan Muhammad sebagai penggantinya yang diangkat sebagai Regent, 1892.
[57] Tidak lagi melanjutkan tradisi  sebagai raja perempuan karena Indrapura telah dikuasai Belanda, dengan menunjuk Marah Rusli sebagai Regent Indrapura. Tetapi tetap merupakan pewarsu syah Kerajaan Indrapura, ibu kandung dari Sultan Setiawansyah dan Putri Gindan Dewi Alam Indrapura.
[58]  Merupakan keturunan terakhir yang tertulis dalam Silsilah Ranji Asli Kerajaan Kesultanan Indrapura. Penulis temui di rumahnya sedang berbaring di tempat tidur, di Kampung Dalam Indrapura, didampingi putra beliau Sutan Boerhanoeddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah, serta seorang Putri beliau bernama Putri Hatim, pada tanggal 30 September 1989.
[59] Keabsahan sebuah dahan atau rantimg Ranji tentulah merupakan urusan intern dari masing-masing keluarga untuk saling mempertemukan garis keturunan masing-masing. Hal ini akan jkentara sekali dapat dilihat dari berbagai Ranji Keturunan dalam penyebarannya di berbagai wilayah.
[60] Istri Ali Akbar Gelar Rajo Adil adalah Malakeni seorang anak perempuan raja Daulat Parit Batu dan tinggal di Pariaman VII Koto. Kakak perempuan Ali Akbar adalah Putri Mambang Surau di Manjuto dan Putri Santan Batapih yang menetap di Pantai Cermin, Padang. Dua orang adik Ali Akbar, adalah Sutan Gandamsyah dan Putri Ambun Suri yang menetap di Indopuro.
[61] Rusli Amran.1981:172. Ibid.
[62] Kerajaan tertua yang juga memakai nama Indrapura, adalah Kerajaan Campa. Di Aceh (Lamuri)  juga ada nama Indrapuri, begitupun di Medan, dan Langkat ada negeri yang juga bernama Indrapura. Di Riau juga ada kerajaan Siak Sri Indrapura. Arti umum Indrapura adalah Kota Raja, atau Kampung Raja. Di Jawa tidak ada negeri yang bernama Indrapura. Konon,  malah tidak dibenarkan memakai nama Indrapura, karena nama itu milik raja-raja Suwarnabhumi. Mungkin ada hubungannya sebagai akibat pertengkaran antara Balaputra Dewa pendiri Suwarnabhumi dengan Rakai Pikatan suami Putri Pramodhawardani yang berkuasa di Jawa. Namun dasarnya adalah karena Raja-Raja Suwarnabhumi dan penduduk keturunan Gunung Marapi berdasarkan kepercayaan masa itu menghanggap dirinya keturunan Dewata Indra, sehingga raja-raja Suwarnabhumi berrgelar Dewa dan pendeta-pendetanya bergelar Dewa Tuhan, yakni para manusia dewa yang berada di Bhumi. Raja-Raja yang menganggap keturunan Dewata Indra adalah Raja-Raja Sriwijaya, Melayu dan Suwarnabhumi. Minangkabau kemudian mengenal dewata Indra dengan nama Ninik Indojati, atau Indrajati.
[63] Orang-orang Gresik di Indrapura diberi gelar Orang Kayo Mat Meti, Orang Kayo Gom Sati, orang Kayo Andam Sati, dan gelarnya dibawah koordinasi Orang Kayo Tumenggung, Orang Kayo Nangkhodo Basa, pemangku gelar pertama datang dari Gresik (nan datang dari Lawik). Sebelum itu juga sudah ada Datuk Nagkohodo Basa dari Singosari. Gelar-gelar ini berdiri sendiri untuk orang Gresik dan Tuban, diberi secara adat oleh orang Minang.
[64] Disamping hak-hak wilayah kerajaan Kesultanan Indrapura seperti yang diuraikan diatas berdasar Transkripsi Ranji, 1989, terdapat pula hak-hak khusus yang menjadi warisan Raja Raja Kesultanan Indrapura turun temurun sampai kepada anak kemenakannya. Dalam tulisan ini tidak disebutkan.
[65] Berdasarkan Surat Keterangan Dan Pernyataan Nasir Gelar Rangkayo Maharajo Lelo Buhul, orang tua asli Indrapura dan eks Kepala Negeri Indrapura (1935 – 1940), tanggal 3 September 1965. Barang-barang Pusaka tersebut, merupakan pemberian Sulthan Aceh kepada Sulthan Teluk Dayo Puro (Indrapura) untuk tanda persahabatan dan persaudaraan antara Raja-Raja Aceh dengan Raja-Raja Teluk Dayo Puro (Indrapura). Hubungan mana adalah karena Putri Ratna Gumala Intan Teluk Dayo Puro bersuami dengan Sulthan Ibrahim Raja Aceh. Barang-barang tersebut dibawa ke Indrapura oleh Panglima Maharajo Lelo Buhul, Kalang Jung, Bintang Terserak Tengah Hari, dan Panglima Kilek Barat. Tetapi hilang ditempat penitipannya.
[66]Seorang politikus pencinta sejarah dan ilmu pengetahuan bekas Letnan Gubernur Kompeni Inggeris yang pernah bertugas di Jawa dan Singapura, juga pernah bertugas di Bengkulu yang berbatasan dengan Indrapura.
[67]Rombongan keturunan putra mahkota Sriwijaya yang beragama Islam, sejak masuk Islamnya Sri Maharaja Indrawarman pada tahun 718 M,  naik ke Pariangan akibat terjadinya kemelut istana, yang konon Sri Maharaja Indrawarman sendiri dikabarkan mati terbunuh pada tahun 730 M, kerajaan menjadi pecah. Pengungsian ini berlanjut sampai tahun 1119 M. Keluarga bangsawan yang menolak agama Islam menggeser kedudukannya ke Siguntur, yang kelak mendirkan kerajaan Dharmasraya.
Begitupun pada tahun 1281 delegasi Suwarnabhumi ke Cina telah dipimpin oleh dua orang utusan beragama Islam, yakni Sulaiman dan Syamsuddin.
[68] Sebelum itu, selain di Pagaruyung, Tuanku Syaikh Maghribi juga punya pengikut di Indrapura, Bayang, dan Pariaman. Bahkan  atas kebijakan  Tuanku Maharaja Sakti, Suwarnapura  ibu kota kerajaan Suwarnabhumi, dijadikan beliau sebagai pusat dakwah Islam dan berganti nama dengan Sumpur Kudus, artinya berasal dari  Suwarnapura, Swanpur, Sumpur  yang Suci.
Masyarakat pesisir barat Sumatera mengenal negeri itu dengan julukan “Makah Darek”, maksudnya pada zaman itu negeri Sumpur Kudus merupakan pusat kedudukan raja ibadat Islam,     seakan-akan menjadi kota Mekahnya orang-orang di pusat pulau Sumatera. Menurut keterangan di negeri itu dahulu ada sebuah Batu Kedudukan yang dinamakan Batu Syahadat. Batu itu tenggelam dalam rawa.
Di Kesultanan Indrapura, yang waktu itu merupakan pelabuhan Samudra pertama di pantai pesisir barat Sumatera (Samudrapura) telah berdatangan juga orang-orang dari Jawa (Gresik) untuk belajar lebih mendalam tentang agama Islam. Bahkan di sana juga terdapat perkampungan Gresik dan Sumedang yang dipimpin oleh seorang Adipati dari Tuban, digelari sebagai Dipati Laut Tawar.
[69]Awang Muhammad Bin Abdul Latif. 1988. Kemasukan Agama Islam Di Brunei. Berita Jabatan Pusat Sejarah 1988. Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Negara Brunei Darussalam.
[70] Diduga dalam versi tambo Minangkabau, Dewang Bonang Sutowano inilah yang disebut sebagai Sunan Bonang yang terkenal di Jawa. Barangkali perlu penelusuran lebih lanjut. Raja Sutra  (Dewang Bonang Sutowano) yang tidak mau duduk memangku jabatan sebagai Raja Alam
Minangkabau ini, dan lebih suka mengembara sampai ke Siak, Kuantan, bahkan sampai menyeberang ke Malaka,  Serawak dan lain-lainnya.
[71] Datuk Raji Panghoeloe. 1982. Minagkabau Sejarah Ringkas Dan Adatnya. Kutipan. 1982 : 210
[72] Emral Djamal. 1995. Transkripsi.
[73] Untuk mengetahui sejarah Kerinci yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan tidaklah mudah. Tambo lama tulisan tangan disimpan jauh oleh penduduk asli sebagai pemegangnya dan tiada dapat diperlihatkan kepada sembarang orang, lebih-lebih oleh bangsa asing. Waktu itu jangan diharap akan mudah saja menerima sebagai hadiah.
[74] Pernah orang kulit putih tinggal seketika di Kerinci pada awal abad ke 18 dengan maksud hendak meninjau dari dekat, dan ingin menyelidiki lebih banyak perihal seluk beluk Kerinci, tetapi yang terbawa oleh mereka tak lebih daripada daun dan ranting tambo. Orang kulit putih itu, adalah dua orang Inggeris bernama Sir Charles Campbell dan Thomas Barnes. yang hasil penyelidikan dan peninjauannya telah disusun oleh William Marsden ke dalam bukunya The history of Sumatera.
[75] Klereks. 1985 : 51
[76] Klereks. 1895. Ibid : 51
[77] Emral Djamal. 1995. Ibid
[78] Emral Djamal. 1995. Ibid
[79] Tuangku Syeikh Maghribi adalah beliau yang selalu datang kepada  Bundo Kanduang, Dang Tuanku, dan Cindua Mato, dan kepada anak bungsu Dang Tuanku (Puti Sari Kayangan), selama di Tanah Dewa Paga Kayangan, Lunang. Beliau diyakini sebagai guru spiritual yang selalu membimbing  mereka, perjalanan ruhani mereka.
[80] Semasa Sultan Barindinsyah Kerajaan Teluk Air Puro,  Bundo Kandung datang ke Indrapura sekitar tahun 1520, ditempatkan di rumah gadang Lunang Sika, beserta kaum kerabatnya, dan menukar nama menjadi Mande Rubiyah. Sementara Dang Tuanku dan Puti Bungsu bertukar nama  menjadi Putri Kemala Sani tinggal di Teluk Air Puro. Cindua Mato ditempatkan di Istana Gandolayu tempat kediaman nenek moyangnya sendiri yang tidak berapa jauh dari pantai Ujung Tanjung Indrapura. Sebuah tempat yang sampai sekarang masih dianggap keramat dan sakti.
Sementara itu Basa Empat Balai ada yang ditempatkan di Tapan ialah Datuk Machudum Sati dan keluarganya, serta beketurunan yang tidak kembali ke negrinya.
Tuanku Sumpur Kudus yang bergelar Rajo Mangkuto Alam tinggal di Indrapura dan beristri di sana. Tidak lagi pernah kembali ke Pagaruyung.
Raja Saruaso kawin di Indrapura lantas berangkat ke Muko-Muko dan mempunyai anak dengan istrinya itu yang bergelar Sutan Gelomatsyah yang kemudian menjadi Raja di Manjuto, dan tidak kembali ke Pagaruyung.
Sultan Barindinsyah diganti oleh adiknya Sri Sultan Usmansyah. Tetapi karena Usmansyah tidak berada di kerajaan karena pergi ke tanah Toraja, maka kerajaan Indrapura diserahkan buat sementara kepada Dang Tuanku, dengan Gelar Sri Sultan Samirullah, Amirullah, Syahirullahsyah  selama 3 tahun.
[81] Menurut M.Sudarso Salih Sutan Mudo Carano, dalam bukunya Sejarah Ketatanegaraan Kerajaan Pagaruyung, 1985, menerangkan bahwa :
 “Tambo ini ganti berganti, salin bersalin, turun temurun kapado urang tuo kito, datang sekarang  kini, barubahpun tidak barang sedikit syak dan mungkir akan tambo ini, dimakan kutuk daulat yang dipertuan, dimakan biso kawi di nagari, karena itulah pitaruah daulat, yang dipertuan sultan nan sati, nan di alam Minangkabau, di dalam Koto Pagaruyung, karena turun firman Allah ta’ala, tersebut dalam Al-Qur’an, inni ja’alna fil ardhi khalifah.”
[82] Nama Burunei, tercatat dalam Ranji Tinggi Kerajaan Kesultanan Indrapura dengan nama Brunei Babussalam. Artinya kira-kira Brunei Sebagai Pintu Keselamatan.
[83]Awang Muhammad, ibid
[84]  Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, 1995. Tambo Silsilah Rajo-Rajo Pagaruyung. Transkrip.
85 Dalam Kaba Cindua Mato disebut  namanya dengan Si Barakat, bersama dua sahabatnya bernama Si Barulieh dan Si Tambahi.  Adalah sahabat dan penasehat pendamping yang dipercaya dalam pemerintahan Bundo Kandung sampai kepada Dang Tuanku dan Cindua Mato. Di kalangan masyarakat tradisi Minangkabau,  diyakini sebagai guru-guru spiritual yang alim ilmu, arif dan bijak  yang ikut membantu Bundo Kanduang dan keluarga istana lainnya  dalam menghadapi kemelut dengan Cina Kuantung.
[86] Awang Muhammad, ibid
[87] Awang Muhammad, ibid
[88] Orang-orang Minangkabau di pusat Pulau Perca  (Sumatera) lebih mengenalnya dengan nama Si Barakat sebagai seorang sahabat dekat keluarga istana yang banyak membantu  Minangkabau Pagaruyung sejak  zaman Daulat Yang Dipertuan Sakti, ayahanda  Bundo Kandung, sampai ke zaman mahkota  kerajaan Pagaruyung Minangkabau dipegang oleh Bundo Kanduang sendiri sebagai Daulat Yang Dipertuan  Putri Raja Alam Minangkabau.
[89] Maulana Malik Ibrahim dari Parsia (Tuanku Syaeikh Maghribi) mula- mula ke pulau Binuang (Mursala) kemudian ke pantai pesisir barat Sumatera  yakni Indrapura, lalu ke Tiku kemudian naik ke Pariangan. Dari Pariangan turun lagi ke Tiku terus ke Indrapura, berlayar menuju Gresik. Gi Jawa dikenal sebagai Wali Pertama. Itulah sebabnya ada di Indrapura keturunan Gresik dan Tuban.  Dan sebagi pendamping beliau sekaligus muridnya adalah Raja Sutra, Dewang Bonang Sutrawarna (Dewang Bonang Sutowano), yang kemudian hanya dikenal di Jawa sebagai Sunan Bonang saja.
[90] Tuanku Syaikh Maghribi, sebelum berangkat ke Gresik, selain di Pagaruyung,  sebelumnya  juga sudah berdiam di Indrapura, dan Bayang membina pengikut-pengikutnya yang telah menyebar di sana. Lewat Teluk Tuban (sebelum bernama Tiku), lalu naik ke Pariangan dan beberapa lama tinggal  berdakwah  di  Sumanik, Pagaruyung, dan Sumpur Kudus. Menjadi Guru Utama Tuanku Maharaja Sakti, ayah Bundo Kandung. Di Sumanik beliau mempunyai  kerabat yang dikenal dengan nama Hyang Indojati, seorang guru dan suami Bundo kandung sendiri.
Adanya hubungan antara pengikut-pengikut Tuanku Syaikh Maghribi di Gresik dan Tuban di Jawa Timur, dengan Pagaruyung serta dengan Indrapura dan Pariaman ditandai pula dengan adanya Teluk Tuban di Tiku Pariaman, bahkan di Indrapura terdapat pula perkampungan  Gresik dan Sumedang.  Demikian juga nama Syaikh Maulana  Malik Ibrahim, dipakai terus sebagai warisan gelar-gelar ulama masa itu, dan kemudian diwarisi secara adat menjadi gelar kebesaran dalam adat Minangkabau, seperti Imam Maulana, Sutan Ibrahim, Imam Ibrahim, Sutan Maulana, Malin Malano (Maulana) dan sebagainya. Itu pulalah sebabnya banyak berdatangan orang-orang Gresik dan Tuban ke Indrapura dalam rangka menuntut ilmu ibadah dan syariat Islam, dan rangka berziarah ke makam Sultan-Sultan di Indrapura.
[91] R.M. Sachlan, Adysaputra.tt Melacak Jejak Pembawa Obor Islam Di Nusa Jawa. Panji Masyarakat, No.272
[92] RM. Sachlan Adysaputra. Ibid
[93] Emral Djamal, 1995. Transkripsi Tambo Alam Jayo Tanah Sangiang, Ranah Indrapura.
Diposkan 20th March 2012 oleh 

No comments:

Post a Comment