Iklan Adsense

Tuesday, January 9, 2018

Gambaran Minangkabau Sebelum Islam

Minangkabau di masa Pra-Islam
18 Juli 2009
Sebelum Islam masuk ke wilayah budaya Minangkabau, tidak dikenal istilah (adagium) “adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah’ sebab istilah itu dibawa oleh para pendakwah Islam.
Bahkan kata “adat” itu sendiri belum dikenal dalam Budaya Minangkabau.
Banyak orang mengatakan bahwa Minangkabau identik dengan Islam, kok bisa? Sama halnya dengan Melayu, katanya identik dengan Islam. Padahal keduanya, Melayu dan Minangkabau sudah ada jauh sebelum Islam datang ke Nusantara ini.
Semenjak Islam datang, wajah dan jiwa Minangkabau sudah berubah dari aslinya. Tapi sayangnya kita juga tidak tahu bagaimana aslinya wajah dan jiwa asli Minangkabau itu melainkan kita tahunya ada jiwa Minangkabau Hindu Buddha dan jiwa Minangkabau primitive.
Wajah Minangkabau tanpa Islam dan Hindu-Buddha
Tidak akan ada perang paderi yang berarti tidak pemaksaan kebenaran dengan menggunakan kekerasan. Minangkabau identik dengan perubahan dengan pemikiran, memperbaiki dengan mengajak orang lain berfikir bukan berubah tanpa disadari atau dipaksakan.
Tanpa Hindu-Buddha, Minangkabau tidak mengenal feodalisme dan sistem hidup berkasta-kasta. Minangkabau menjunjung tinggi egaliterisme dan kesamaan hak dan derajat manusia.
Minangkabau juga identik dengan rasionalisme bukan tahayul dan berbagai mistisisme apalagi mitos.
Minangkabau sangat menghormati alam dan menimba ilmu daripadanya. Alam adalah sumber segala kehidupan. Dari alam dan kembali kepada alam.
Minangkabau adalah wilayah tanpa kerajaan. Minangkabau dihuni oleh manusia-manusia cerdas, yang tidak dikuasai oleh orang lain melainkan oleh kesadarannya sendiri, oleh jiwanya yang sudah tercerahkan.
Istilah adat
Istilah adat berasal dari bahasa arab ‘adah’ sebuah kosakata arab yang berakhir dengan huruf ta marbuthah, dalam tradisi Persia lebih lazim akhiran t, padahal dalam bahasa arab akhirat at atau hanya dipakai untuk kosakata dalam bentuk jamak. Karena di nusantara lebih lazim disebut adat bukan adah, seperti halnya surat bukan surah, salamat bukan salamah, rahmat bukan rahmah dst.
Trio Raja (Alam, Adat dan Ibadat)
Semenjak Islam masuk ke istana pagaruyung, maka muncullah istilah raja adat dan raja ibadat yang sebelumnya tidak ada. Kedua raja tersebut posisinya dibawah raja alam yang ketiganya dirangkum dengan istilah raja tiga sila (Rajo tigo selo).
Istilah “alam” pun dibawa oleh Islam. Istilah pra-Islam adalah nagari, nagara, bumi atau buana seperti terdapat pada gelar raja Tribuanaraja Mauliawarmadewa. Tribuanaraja maksudnya adalah Raja Tiga Buana atau Raja Tiga Negara.
Tapi bisa jadi system tritunggal itu sudah ada dalam kerajaan Pagaruyung tapi berganti nama. Kira-kira apakah nama sebelum ketiga raja tsb : raja alam, raja adat dan raja ibadat.
Penggantian istilah raja menjadi sultan kemudian sutan
Istilah Sultan pun menggantikan istilah raja. Tapi kemudian lidah Minangkabau mengubah kata Sultan menjadi Sutan karena tidaklah lazim bagi lidah Minangkabau pengucapan huruf “l” mati dalam sebuah kosakata.
Istilah Kaum
Istilah Kaum juga dibawa oleh Islam menggantikan istilah Korong atau kelompok yang terdiri sebuah suku. Ini menunjukkan bahwa ada penggantian nama nagari atau memang nagari ini baru berdiri semenjak Islam masuk ke Pagaruyung (bukan masuk ke Minangkabau) yaitu nagari Limo Kaum.
Perangkat di bidang keagamaan
Sebelum Islam tidak dikenal jabatan Tuan Kadi atau angku Kali (Qadhi), Malin (Mualim) yang menunjukkan bahwa kisah Malin Kundang, Malin Deman muncul setelah Islam. Selain itu juga istilah Katik dari kata Khatib, Bila dari kata Bilal, Iman atau Imam dari kata Imam.
Tuan Kadhi bertugas sebagai hakim bagi masalah-masalah agama. Malin adalah seorang guru agama. Katik bertugas sebagai penyampai khutbah setiap jumat atau hari raya. Imam pemimpin sholat berjamaah. Bila adalah muadzin di setiap mesjid, mushala dan suraw.
Yang ada adalah istilah pandito untuk pemuka agama.
Biaro
Sebelum Islam masuk tidak dikenal istilah Mesjid atau Mushola, tapi istilah surau mungkin sudah ada. Kata Surau merupakan pemendekan dari kata “Surawasa” (Saruaso) yang artinya pusat pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan semua hal yang berkaitan dengan Minangkabau termasuk seni bela diri, budaya dan agama.
Tempat ibadah yang dikenal adalah biaro (biara atau vihara) yang menunjukkan bahwa masyarakat—istilah masyarakat juga istilah Islam—Minangkabau dulunya mayoritas beragama Buddha atau sinkretisme Buddha dan Hindu.
Selain itu juga sudah dikenal istilah Candi untuk penganut Hindu dan juga buda.
Puro
Orang Minang sudah mengenal istilah puro (pura) tapi dalam arti yang berbeda dengan istilah pura di Hindu. Umumnya diketahui arti pura adalah tempat sembahyang umat Hindu dan juga kota. Di Minangkabau artiny puro adalah tempat menyimpan harta misalnya dalam istilah “Puro Panuah Koto Piliang”. Rangkiang juga termasuk salah satu bentuk puro.
Istilah Buya
Waktu itu belum dikenal istilah Buya karena Buya merupakan pemendekan dari kata ‘abuya’ yang artinya ayahku.
Kata Sumbayang (Sembah Hyang)
Tidak ada istilah sholah di waktu itu melainkan Sumbayang, Sambayang (Sambah Hiyang).
Istilah Ngaji
Istilah ini sudah lama popular di masyarakat Minang. Tapi bukan mengaji kitab-kitab Islam melainkan mengaji dan mengkaji ilmu yang ada di alam dan kitab-kitab Buddha.
Tabuah
Tabuah atau beduk sudah lama ada. Alat ini sudah lama digunakan sebagai sarana komunikasi semenjak zaman dulu.
Sebuah bayangan tentang Minangkabau pra-Islam.
Biasanya setiap nagari mempunya biaro yang terbuat dari kayu dan tentunya juga dihiasi oleh patung-patung atau roco-roco (istilah ini mungkin juga serapan dari istilah arca) di dalam biaro tersebut.
Mungkin juga patung-patung ini diukir dari kayu. Mungkin pula ini yang menyebabkan ketika kemudian terjadi pemusnahan dan pembakaran biaro, patung-patungnya juga ikut terbakar.
Masyarakat sangat mengandalkan perdukunan apabila diserang penyakit fisik maupun mental. Dukun menjadi penghubung mereka dengan para Dewa atau Tuhan.
Masyarakat meyakini keberadaan para dewa. Mereka meyakini para dewa sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Ini menunjukkan sinkretisme dalam keberagaman mereka.
Kumayan atau kemenyan sangan jamak digunakan oleh masyarakat Minang kuno.
Luhak dan rantau semuanya dibagi menjadi nagari-nagari. Jadi luhak mempunyai nagari-nagari rantaupun mempunyai nagari-nagari.
Raja Buano berkedudukan di Pagaruyung. Semua raja bawahan (Rajo Kaciak) di wilayah rantau wajib memberikan laporan pertanggungjawaban terhadap Raja Buana atau Raja Bumi.
Mungkin raja kecik disebut sebagai dipati atau adipati.
Sebuah nagari diperintah oleh seorang kepala nagari sebab istilah wali, wilayah dan daerah dibawa oleh Islam.
Nagari-nagari terdiri dari koto dan taratak. Koto dan taratak terdiri dari korong-korong atau kemudian terkenal dengan istilah baru kaum. Wilayah satu korong adalah wilayah yang ditempati oleh sebuah suku yang sama meskipun tidak seinduak (tidak sahindu).
Sebuah korong diperintah oleh seorang datuak. Jadi seorang datuak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai aparat pemerintah dan sebagai penghulu.
Sebagai penghulu artinya seorang datuk adalah seorang yang yang bertugas menjalankan aturan-aturan adat di tengah korongnya.
Suksesi seorang datuk yang telah mangkat dilakukan menurut garis matrilineal. Seorang datuk membawahi mamak-mamak dalam sebuah korong.
Korong dan Jorong
Datuk-datuk dalam sebuah kampong atau jorong berkedudukan dibawah kepala kampuang atau kepala jorong.
Sebuah korong juga dilengkapi dengan seorang panungkek (wakil), pandito, dubalang dan manti (mentri). Dubalang bertugas dalam keamana korong. Manti bertugas dalam menyelesaikan permasalah dalam korong. Manti dan dubalang tak lain adalah berasal dari kalangan mamak-mamak juga. Maka suksesi manti dan dubalang juga mengikuti system matrilineal.
Jadi sebuah suku harus mempunyai suraw sendiri. Mungkin saja biaro hanya dimiliki oleh sebuah kampuang atau mungkin nagari atau sebuah wilayah rantau. Suraw lebih sering dipakai daripada sebuah biaro karena memang dalam peribadatan Buddha sembahyang di vihara tidaklah mesti diadakan perminggu melainkan pada setiap hari-hari besar.
Sebuah suku juga tidak mempunyai tanah pemakaman karena menurut tradisi Buddha, mayat tidak dikuburkan melainkan dibakar. Tapi bisa jadi sebagian melakukan penguburan yang mereka sebut sebagai pandam artinya mayat dipendam didalam tanah dengan sebuah tanda Dari batu yang juga disebut batu tagak. Kemudian dikenal pula istilah gabungan “pandam pakuburan”.
Besar kemungkinan pandito juga tidak terdapat pada setiap korong sebab fungsi dari pandito bukanlah untuk persukuan melainkan menjadi hak semua suku dalam nagari.
Umumnya biaro dibentuk menurut bentuk rumah gadang. Dalam biaro ada ganto (genta) yang merupakan lonceng. Juga ada tabuah (beduk). Kaji-kaji atau mantra semuanya berasal dari biaro ini. Dukun-dukun juga merupakan orang-orang yang kerap berinteraksi dengan biaro ini.
Apakah orang Minangkabau Buddha adalah vegetarian?
Sepertinya tidak sepenuhnya orang Minangkabau kuno menjalankan ajaran Buddha atau Hindu. Mereka percaya dengan karma atau hokum karma yang kadang dalam beberapa dialek disebut Hukum Korma (istilah korma untuk buah palem yang berasal dari arab belum dikenal).
Sering terdengar istilah “mambantai kabau” atau menyembelih kerbau di acara-acara pelewaan gala. Ini menunjukkan bukanlah vegetarian. Ajaran Buddha tidaklah sepenuhnya dijalankan.
Aliran Buddha apakah yang berkembang di Minangkabau?
Adityawarman menganut Buddha Tantrayana atau Tantrisme yang menekan pada ritual-ritual garis keras yang melibatkan pengorbanan manusia atau binatang dalam hal mendapatkan kekuatan spiritual.
Tapi apakah orang Minangkabau menganut aliran yang sama, tidak diketahui. Tapi besar juga kemungkinan adalah aliran campuran Buddha dan Syiwa (Hindu).
Tapi jarang terdengar mereka begitu menghormati sapi atau binatang lainnya.
Juga sering disebut adalah istilah Gajah Tongga atau Gajah Maharam.
Ajaran welas asih dalam Buddha tidak sepenuhnya dijalankan, terbukti acara sabung ayam (adu ayam) sudah menjadi tren di tengah masyarakat, juga adu kerbau.
Juga ada kepercayaan menghormati tikus karena dianggap sebagai dewi padi. Sipasan atau lipan dianggap sebagai “anak daro” pengantin perempuan karena warna lipan yang dominant merah.
Pakaian yang dominant di Minangkabau kuno adalah warna hitam dan sedikit warna kuning dan merah. Jarang sekali ditemukan pakaian berwarna hijau, putih atau biru.
Darimana mereka mengimpor kain?
Sudah semenjak lama ada industri menyulam. Benangnya adalah benang wol. Dan pakaian mereka di zaman primitive adalah pakaian yang dianyam dari benang-benang kulit kayu tarap (Tarok).
Maka sebuah biaro juga didominasi warna hitam dan merah, berbeda dengan vihara Cina yang didominasi warna merah.
Kepala Nagari
Kepala Nagari juga merupakan seorang datuk dan juga diangkat menurut garis ibu. Kepala Nagari bertanggung jawab kepada Raja di wilayah rantau atau Penghulu di hulu.
Ekonomi
Hidup umumnya hidup dari pertanian dan perkebunan. Bisa juga dari peternakan. Sebagian wilayah juga mempunyai tambang emas. Tidak dikenal sawah atau lading milik pribadi melainkan milik suku atau korong. Tidak ada jual beli sawah melainkan pagang, gadai dan tebus. Mamagang berarti memegang lahan orang lain dengan memberikan berupa sejumlah kekayaan berupa mas. Menggadai berarti meminjamkan lahan pada orang lain dengan jaminan berupa barang mas. Menebus adalah mengambil kembali lahan yang dipinjamkan dan mengembalikan jaminan.
Manukuak adalah meminta tambahan bagi jaminan gadai yang kemudian harga tukuak bisa menjadi harga gadai untuk penggadaian berikutnya.
Mata uang zaman dulu adalah berupa mas dan perak, serta suasa dan tembaga. Mungkin juga kuningan. Selain itu berlaku barter. Satuan mata uang adalah kupang, rimih, tali, suku, benggo.
Setiap warga suku atau korong wajib memberikan sebagian dari penghasilan sawah dan ladangnya kepada datuk sukunya yang juga dibagi kepada manti dan dubalang. Dan pemberian itu juga akan disampaikan kepada kepala nagari. Kepala Nagari menyerahkannya kepada Raja rantau (Adipati). Adipati menyerahkan kumpulan semua itu berupa mas.
Jadi seorang bisa menerima berupa padi, kelapa dan buah-buahan dari warga sukunya.
Kepala Jorong juga akan memungut dando (denda) bagi siapa saja yang melakukan tindakan criminal atau pelanggaran adat. Dendanya berupa mas atau hewan ternak.
Sawah dikerjakan secara bersama-sama antara warga suku dan dinikmati bersama. Tidak ada yang terlalu kaya dalam sebuah suku.
Selain berrtani ada juga warga yang bekerja sebagai pedagang di pasar. Pemerintah juga mendapatkan pajak dari pasar ini.
Kemiliteran dalam Minangkabau kuno
Sebagai sebuah kerajaan tentu Pagaruyung mempunyai dubalang-dubalang atau prajurit. Istilah tentara belum dikenal atau tidak lazim. Dubalang selain ahli dalam persilatan, juga ahli dalam memanah, berkuda, bermain pedang dan tombak.
Sebuah kerajaan tentu mempunyai sebuah peternakan kuda untuk perang. Nama-nama kuda mereka antara lain Gumarang, Si Balang Kandi, dsb.
Senjata : pedang, tombak, panah, kapak, lading, golok, rudus, keris.
Istana Pagaruyung juga mempunyai pengawal di setiap penjuru dan setipa sudut. Sekeliling istana dijaga oleh dubalang. Setiap perjalanan raja dikawal oleh dubalang. Begitupula datuk-datuk.
Dubalang juga memiliki kepangkatan misalnya cumano (laksamana), panglima, pandeka (pendekar).
Alat Transportasi
Waktu itu pedati dan bendi menjadi sarana transportasi yang umum. Jalan-jalan belum ada yang beraspal tapi jalan-jalan itu adalah jalan-jalan kerikil yang sudah dipadatkan. Pedati dihela oleh kerbau dan bendi dihela oleh kuda. Pedati pengangkut barang untuk jarak jauh, dari pecan ke pecan. Sementara bendi pengangkut orang dan kereta kerajaan. Disamping aliran sungai juga dimanfaatkan untuk sarana transportasi. Makanya tidak jarang pemukiman terdapat di pinggir-pinggir sungai.
Dan sungai-sungai tidak dangkal seperti sekarang karena hutan belum ditebangi.
Tautan Luar:

No comments:

Post a Comment