Di Koto Kapencong Lubuk Gambir ada 4 suku yang masuk rumpun Suku Tanjuang yaitu:
- Suku Tanjuang (kaum Datuak Maharajo Indo, penghulu Andiko), disebut pula suku Tanjuang Gadang bersama suku Koto, datang ke Lubuk Gambir sesudah rombongan kaum suku Koto Penghulu Pucuk.
- Suku Koto kaum Datuk Rajo Intan, penghulu Pucuk XII yang turun ke Bayang, datang ke Lubuk Gambir sesudah rombongan Penghulu Andiko Bayang Nan Tujuh.
- Suku Sikumbang kaum Datuk Kayo, penghulu Andiko pertama yang ada di Kapencong.
- Suku Guci kaum Tandilangik, penghulu Andiko belahan dari Kubang. Di Kubang termasuk penghulu yang pertama.
Abad 12
Menurut Tambo Pagaruyung, ada 99 orang rombongan Ninik yang sudah menyebar ke pesisir barat Minangkabau, salah satunya ke Bayang yang waktu itu belum bernama Bayang. Keturunan mereka inilah yang menyebar sampai ke Salido dan menambang emas di Salido.
Abad 16
Ketika Portugis datang untuk mengambil alih tambang emas Salido dari tangan penduduk Bayang pertama maka Raja Koto Anau (Bagindo Yang Dipertuan) mengutus sejumlah laskar dan pendekar ke Bayang untuk mengusir Portugis, dibawah pimpinan Datuak Bakupiah Ameh (Pamuncak), suku Tanjuang, dibantu oleh perwakilan Kinari, Datuk Nan Keramat, suku Malayu dan Datuk Bagajabiang, suku Caniago dari Koto Anau. Keturunan dari merekalah yang kemudian menghuni Bayang Nan Tujuh dan Koto Salapan. Setelah Bayang agak aman maka penduduk Gunung Talang terus berdatangan ke Bayang Salido, sebagian menetap di Lumpo dan sebagian lagi menyebar ke Duku Tarusan.
Pada abad ini pula Raja Guguak (Bagindo Sutan Basa) mengutus rombongan Guguak Cupak untuk membantu rakyat Bandar Sepuluh Lamo di sepanjang pesisir Bungus Mandeh untuk mengusir Portugis. Tapi sayang mereka kewalahan menghadapi Portugis akhirnya mendirikan perkampungan baru di arah hulu Sungai Batang Barus / Batang Tarusan. Pada periode ini belum terbentuk Padang Salapan Suku.
Asal Usul
Nenek moyang suku Guci Lubuk Gambir berasal dari Luhak Kubuang Tigo Baleh (Solok) tepatnya nagari Muaro Paneh, menurut penuturan nenek-nenek kami, dan sesuai pula dengan penuturan Tambo Bayang (1915) bersamaan dengan turunnya nenek moyang suku-suku lain ke Bayang dari Muaro Paneh, Kinari dan Koto Anau.
Lebih lanjut menurut penuturan orang tua-tua di kampuang, bahwa dulu nenek kami turun bersama 9 saudara laki-lakinya. Dari seorang nenek ini yang berkembang menjadi kaum kami sekarang, yang terdiri dari beberapa paruik (keluarga besar).
Dan suku kami sekarang terkenal dengan sebutan suku Tanjuang Kaciak atau suku Tajuang Ketek, padahal dalam Tambo Bayang tersebut nama suku Tanjuang Guci, disamping suku Tanjung Sikumbang, Tanjung Koto dan Tanjung Gadang. Di Lubuk Gambir hanya terdapat dua suku Tanjung saja yaitu suku Tanjung Kaciak dan suku Tanjung Gadang. Suku Tanjung Koto (Datuk Rajo Intan) merapat ke suku Tanjung Gadang (Datuk Marajo Indo). Maka bertambah gadang suku Tanjung Gadang. Sementara suku Tanjung Guci tidak mau merapat ke suku Tanjung Gadang melainkan berdiri sendiri saja, maka terkenallah ia dengan suku Tanjung Kaciak atau Tanjung Guci. Ada dua belahan suku Tanjuang Guci, satu kaum di kapalo koto dan satu kaum lagi di ikua koto yaitu kaum kami. Penghulu kami adalah Datuk Tandilangik. sedangkan Malin kami adalah Imam Marajo. Suku Tanjung Gadang juga bermalin ke Imam Marajo.
Kapan nenek moyang kami turun ke Bayang?
Kalau Tambo Bayang baru ditulis pada tahun 1915 dan perang Bayang melawan Belanda terjadi pada tahun 1600-an, maka diperkirakan nenek kami turun sebelum abad2 tsb, kuat dugaan pada abad 14/15 Masehi.
Dan ranji kami tidak bisa lagi melacak keberadaan generasi ke-5 keatas sampai ke nenek yg mempunyai 9 saudara laki-laki tsb. dan agak mengherankan juga, kalau memang nenek moyang kami sudah datang 7 atau 6 abad yang lalu, kenapa pertumbuhan populasi suku kami tidak signifikan? Bisa jadi yang dimaksud oleh orang tua2 kami bahwa dulu ada seorang nenek dengan 9 saudara laki-laki tsb adalah memori kolektif semua keturunan suku Tanjung/Tanjung Guci di Bayang, bukan hanya nenek moyang dari kaum kami. karena suku kami mempunyai belahan yang tersebar di berbagai nagari dan dusun di Bayang, misalnya Kubang, Kapujan, Talaok, Lubuak Aur dan seterusnya. Tapi hal tsb sudah sulit untuk dilacak.
Penghulu Adat Suku Tanjung Guci
Penghulu adat (Andiko) Suku Tanjung Guci di nagari Bayang nan Tujuah:
- Datuk Tan Dilangit (Kubang dan Lubuk Gambir)
- Datuk Rajo Johan (Koto Baru)
- Datuk Marah Bangso (Kapujan)
- Datuk Panduko Kayo (Koto Berapak)
- Datuk Rajo Adil dan Datuak Bandaro Gamuk (Lubuk Aur)
- Datuk Rangkayo Basa (Jambak Kapeh Panji).
Pada Tambo Adat Bayang nan Tujuh (1915) tercatat nama pemangku gelar Datuk Tandilangik adalah Husein yang mewarisi dari mamaknya bernama Songgoli. Sekarang sekarang ini yang memangku gelar Datuk Tandilangik bernama Imu dan Imam Marajo dipegang oleh Kardiman.
Paruik-paruik didalam Korong kami
1. Paruik Gek Gadih (ibu dari gek Baini bersaudara),
disebut saja sebagai paruik gek baini sebab gek baini yang kita kenal mewakili dari paruik ini dan beliau yang masih hidup yang sempat kita lihat dan temui. Kalau gek ubay, gek anjani udah lama meninggal. Gek anjani sendiri kurang jelas bagi saya. Gek baya, saya tak pernah melihatnya. Jadi paruik gek baini ini terdiri dari keturunan gek baini, katurunan gek baya, katurunan gek ubay, katurunan gek anjani. Posisi rumah mereka adalah : rumah gek anjani disamping rumah gek ubay disamping rumah gek aneh. Rumah gek baini di pinggir Korong diatas rumah kami.
1.1.Gek baini (1924) menikah dua kali. Pertama dengan yah risun orang koto berapak, beranak dua sejoli yaitu tuo lianir dan wan suar. Kemudian gek baini menikah lagi, dengan Yah Habib orang Tarusan, beranak dua laki-laki yaitu wan amrin (seorang PNS di Departemen Agama, sudah pensiun) dan wan dirman (seorang TNI-AD, meninggal di usia relatif muda akibat diserang tawon di malam hari, meninggalkan tiga orang anak). Tuo lianir menikah dengan pak udin, beranak ni ima, ujang, isaf, izal, inaf, ides, dan ilen. Ni ima menikah dengan sarun, beranak etri. Da ujang dan da isaf menikah dengan orang kapencong. Da izal menikah dengan orang tanah kareh. Da inaf pertama menikah dengan anak Daraweh, beranak dua, kemudian bercerai, menikah dengan orang semarang, beranak seorang perempuan. Da ides menikah dengan sepupunya sendiri, deni anak wan suar. Ilen menikah dengan sulaiman orang hilir.
1.2.Gek baya (1927) menikah dengan yah tonggak, beranak wan ardi, tek anis, dan beberapa lagi yang tidak saya kenal. Wan ardi menikah dengan upik pinang, tidak dikaruniai anak tapi mengangkat seorang anak.
1.3.Gek ubay (1925) menikah dengan yah amie (saudara dari pak suban, pak inci dan istri yung basir, ibu mereka bernama Gek Malan), beranak wan pion, tek idar, tek imar, tek isar, wan uncu peruik, dan wan saral. Tek idar menikah dengan pak anih suku tanjung, anak gek munah jo angku si’a. jadi pak anih pulang ke bako. Dan pak anih ko adolah adik dari tek tama, istri pak inci. Jadi di satu sisi pak anih adalah mamak rumah pak inci (adik yah amie) tapi disisi lain iya adalah menantu yah amia (kakak pak inci). Uncu peruik menikah dengan orang pariaman. Saral menikah dengan orang tapan, sungai gamuruah. Wan pion menikah dengan tek anis anak gek baya.
1.4.Gek anjani (1921) beranak tuo liana, tek ijuih, wan sulan (Ruslan, seorang PNS di Depag, domisili di Painan). Tuo liana baranak duo : da emi jo da si ong, tek ijuih manikah jo pak jaman, baranak : da sihen, da izen, iyal, dan si us. Si us menikah dengan ujang anak wan sansir. Wan Sulan menikah dengan seorang perempuan suku Caniago keluarga Datuk Bandaro Sati.
1.5.Gek aneh (1912) atau nama kecilnya Tiasun. Kabarnya nenek ini disebut gek aneh karena anaknya bernaman aneh (anas), dikabarkan menikah dengan orang Bungo Pasang, Salido. Gek aneh tidak mempunyai anak perempuan. Jadi punah keturunannya secara adat.
1.6.Angku Abu Rasyid (1932), dikabarkan menikah dengan orang Sago, Salido, tidak banyak dapat informasi mengenai anak-anaknya tapi penulis pernah diajak ibu penulis ke rumah anaknya sewaktu ada acara pernikahan. Rumahnya tak jauh dari pasar Sago tapi penulis tidak ingat lagi persisnya dimana rumah tersebut.
1.7.Angku Apung (1929), nama kecilnya Abu Bakar, menikah dengan orang suku Tanjung gadang, beranak tek Iris. Juga dikabarkan sempat menikah dengan gek Jaori, yg kemudian menikah dengan angku Dukan. Dari gek Jaori, beliau dapat anak bernama Tinur yang menikah dengan Pak Marzuki (kemenakan dari ayah penulis).
1.8. Angku Saman yaitu sdr laki2 dari ibu gek Gadih dan gek Tiasun.
2. Paruik Gek Isah (ibu dari Gek Mayangbersaudara) disebut juga Mak Etek
Gek Mayang bersaudara dengan Gek Nurani, Gek Umi dan Angku Yapas.
2.1.Gek mayang (1930) menikah dua kali. Pertama beranak Syahmur (seorang PNS di Pemda DKI Jakarta, mempunyai empat orang putra). Kemudian dari suami kedua beranak : syahrial (seorang PNS di LIPI Jakarta), ilus, nurnas, si as, upik dan syahril (buyung). Wan syahrial dan wan syahmur menikah dengan orang jawa. Tuo nurnas menikah dengan orang Padang, namanya Khaidir. Yang saya tahu anak tuo unas : Ujang Jefri, Vivi. Anak tek si As : Erma, eva, joni, wiswanto, si it, meri, ijul dan izel. Wan Buyung menikah dengan tek en anak pak mudar, beranak : senda, fatma dan ani.
2.2.Gek nurani (1935) menikah dengan yah sajar, beranak : wan sudi, wan numan, wan bujal, tek nati dan tek murni. Wan sudi menikah dengan tek ijuih orang kapalo koto, beranak sepasang anak. Anak tek nati : atul, diah, reka, reki dst. Wan numar menikah dengan orang lampung. Wan bujal menikah dengan orang kapencong dan tinggal di jambi. Wan numan dan wan bujal sama-sama pegawai negeri di kantor kelurahan atau kecamatan. Istri wan bujal masih bersaudara dengan istri wan dirman dan istri da isaf.
2.3.Gek umi (1940) menikah dengan matan dan ompong. Dengan matan beranak : ermi. Dengan ompong beranak : seri. Ermi menikah dengan pak ujang anak tuo siar dan yah bahar saudara laki-laki mayar. Anak tek ermi : arid an seorang lagi perempuan.
2.4. Angku Yapas (1927) menikah dengan orang jambak, beranak eti istri pui, lius, eman dan supar. Eman menikah dengan anak si abu hasan, supar menikah dengan orang tanjuang kapalo koto. Lius menikah dengan orang solok, bekerja sebagai fotografer di koto berapak.
3. Paruik Gek Unan – Lumat
3.1.Ibu Lumat mempunyai anak : Lumat, Jarain dan Indik. Lumat dikaruniai anak-anak : Suna (1924), masri (1944), samsir (1950), Rahmat (1942) dan Kahar (1939). Suna menikah dengan jalih, beranak : mega, mul, kuri, dan si er. Mega menikah pertama dengan yung basir, beranak romi tapi sudah meninggal akibat kecelakaan kereta api di pesing, Jakarta. Mega menikah lagi dengan Maredi suku caniago lubuak aur, beranak : roli, deni, metro dan seorang lagi. Si er menikah dengan irun, beranak : rio, dan beberapa orang. Kuri dan imul tinggal di Jakarta. Jarang pulang kampong. Kahar menikah dengan orang kapalo koto, anaknya : Darman, Cinaman. Rahmat menikah dengan Mardiana suku jambak tangah koto, beranak buyung uda dan itos. Masri (simeh) menikah dengan tek iyun dan sebelumnya pernah menikah dengan orang koto baru. Samsir menikah dengan orang jambak (idas).
3.2.Naani (1943) sendiri saja, tidak terdengar punya saudara laki-laki. Dengan suami pertama ia beranak dua : Yung Kadan dan Iyun. Iyun dengan suaminya orang Lubuk Aur sudah lama meninggal dengan 3 orang anak perempuan : santi, yuli, iye. Mgkn ibu naani bersaudara dengan ibu suna atau mgkn juga neneknya yg bersaudara.
4. Paruik Gek Rabak (ibu dari Gek Sami bersaudara)
Gek Sami bersaudara dengan Gek Mani, angku Ulud (Syafruddin) dan angku Sia.
4.1.Gek Mani (1927) beranak dua : bakhtiar dan burhan. Bahtiar nikah dengan Tiar suku jambak , dusanak Sansur. anak 3 perempuan, 1 di kerinci dan 2 di lubuk gadang (Bengkulu) tinggalnya sekarang. Burhan nikah dengan orang Kapujan memiliki 1 anak laki-laki, kemudian menikah lagi dengan orang Sirampeh (Jambi) sampai meninggal tak pernah pulang kampung. sudah lama di cari keluarga , Januari 2011 tek Sur bertemu di sirampeh dengan anak dan keluarga Burhan.
4.2.Gek Sami (1930) menikah dengan Buya Sulaiman (yah leman, seorang ulama besar di Nagari Koto Berapak, juga seorang PNS guru, sepupu Haji Ilyas Yakub), beranak : gusti (suti, seorang PNS guru/kantor Depag, meninggal di usia muda akibat sakit), imis, ila (meninggal di usia relatif muda lantaran sakit), si is, isur, tek en. Wan gusti menikah dengan tek imur orang suku tanjung gadang beranak seorang laki-laki bernama wandrianto, wan gusti meninggal di usia muda (umur 28). Tek imis menikah dengan pak jamilis (seorang karyawan PT Semen Padang, sudah pensiun), beranak dua : ipit dan iyen. Ipit menikah dengan mursal asal batangkapeh. Iyen menikah dengan orang padang. Tek ila menikah dengan pak sarun asal koto berapak, kemenakan dari yah gapar yang menikah dengan tetangga tek ila, beranak : enti, ipil, inel, qiyam dan ramzil. Enti menikah dengan seorang duda asal jawa barat. Tek si is menikah dengan pak simuih asal payakumbuah (suliki), beranak : esi, yandri, minal. Tek isur menikah dengan pak inal orang melayu ganting, tidak beranak. Tek en menikah pertama dengan orang lubuk aur, beranak : seri. Kemudian menikah dengan duda pak izal, beranak beberapa orang.
4.3.Angku Ulud (1932) (Syafruddin lahir di bulan Maulud). Angku Ulud menikah 13 kali dan dengan orang Koto Berapak punya anak 1 laki-laki diberi nama Burhanudin (sekarang pensiunan pns walikota padang), yang menikah dengan guru SD urang Gurun Laweh (Bayang) memiliki 1 anak laki-laki (kira-kira kelahiran 1978). Angku Ulud terkenal sebagai seorang tabib yang ahli dalam hal pengobatan tradisional terutama terhadap bisa luka jarum hajit. Ilmu beliau sekarang diturunkan ke para keponakannya yaitu Is , Sur, En dan anak kakak laki-lakinya (Si’a) yaitu Tama .
4.4.Angku Si-a (1925) menikah dengan gek munah. Beranak : tama dan pak anih.
5. Paruik Gek Hawa (ibu dari Gek Sinyar bersaudara)
Nenek saya syamsinyar (sinyar) bersaudara dengan gek jirah, angku newan dan angku dukan. Siti Hawa menikah dengan Tjik Adang asal suku Malayu kaum Bagindo Maharajo Lelo (Pucuk Bulek Bayang Nan Tujuh)
5.1.Gek syamsinyar (1929) menikah dengan yah Basir (Basin, dijuluki pulo Basin Pelong karena rambutnya yang disisir dengan gaya memutar di depan) asal Jambak, sepupu gek Mardiana (Gek Mardiana bersaudara dengan Yah Peri di Kapencong, Yah Mawin suami dari Tek Ilih Koyong, selain itu Gek Mardiana bersepupu dengan Kairani istri Pe-o, Angku Luih adalah mamak dari Gek Mardiana dan bersaudara dengan ibu dari Yah Basir, berkerabat pula dengan yah Buranin), beranak seorang yaitu ibu saya, Dasniati. Kemudian nenek saya bercerai dengan yah Basir, menikah lagi dengan yah bujang asal Kapujan, beranak 3 perempuan : tek tati, tek am dan tek si ir. Ibu saya menikah dengan ayah saya Jamalus suku caniago, beranak Sembilan orang termasuk saya yaitu Elmiyenti, Erwandi, Delviyendri, Irwan, Elvi Suryani, Syafroni, Afrifal, Zulfadli dan Nelma Fitri. Elmiyenti menikah dengan Amrizal suku Tanjung Gadang (kemanakan kandung dari Pak Jamilis, suami Tek Imis, Amrizal adalah karyawan PT Bukit Asam [Persero] di Sawahlunto), beranak tiga : Danny Putri Amelia, Angga Saputra dan Salsa. Erwandi atau Edi menikah dengan Dewi anak Tek Ijuih (cucu dari Haji Ilyas Jalil, sepupu Buya Sulaiman), beranak Ranti dan Rendi. Delviyendri atau Iyen yang juga biasa dipanggil Datuak, menikah dengan si Is anak Betawi Bekasi, beranak dua laki-laki : Fajar dan Fahri. Irwan atau Iwan menikah dengan Marni asal Wonogiri (Jawa Tengah), beranak dua : Siti dan Khairul Abidin. Elvi Suryani atau Epi menikah dengan Deni suku Caniago asal Koto Baru, Bayang, beranak dua : Irma dan Ridho. Syafroni menikah dengan Fatmawati suku Sikumbang asal Kampuang Marelang, Nagari Koto Salapan, Balai Salasa, beranak seorang perempuan yaitu Aisha Fasyagucci. Afrifal yang berganti nama menjadi Afrizal di ijasahnya, dipanggi Ipal menikah dengan Eka asli Baruang Balantai tapi besar di Jakarta, beranak seorang laki-laki bernama Andrea Muhammad Iqbal. Zulfadli atau si Ul menikah dengan Dara asli Solo, tinggal di Jakarta. Tek tati menikah dengan pak abu, family tek en istri wan buyung, beranak : esi, si ed, reni dan hendra. Esi menikah dengan Izen (cucu Syamsu, anak saudara sebapak dengan nenek saya Syamsinyar), beranak dua : Yafi dan Hilmi, tinggal di Cibinong, Bogor. Si Ed menikah dengan Rini asal Kapujan, Bayang. Reni menikah dengan Malik asal Solok, beranak seorang perempuan bernama Aulia. Tek am menikah dengan pak ilyas asal kambang, beranak 3 : ilham, dewi, danil. Dewi sudah menikah dengan seorang asal Batu Sangkar. Tek si ir menikah dengan ii suku jambak, beranak : butet, eko, mori dst.
5.2.Gek jirah (1925) menikah dengan suami pertama, beranak : Nawas dan Kutar, dengan Janaik, beranak : Duar dan Jamaris. Nawas menikah dengan salat, beranak : furi, dati, amdar, edi, asnil. Furi (Nafuri) menikah dengan orang Padang, beranak tiga orang anak perempuan, beliau meninggal di usia relatif muda akibat kecelakaan dalam perjalanan dengan sepeda motor bersama adiknya Hasnil, dari Padang menuju Bayang pada malam hari. Kutar menikah dengan orang kapujan, punya beberapa anak tapi di akhir hayatnya ia tidak diperdulikan oleh anaknya. Duar menikah dengan tek eti, beranak : iwan, upik, rini dan rahma. Jamaris menikah dengan yuni anak joain, beranak : titi, santi, yusuf, buyung, vera, dst.
5.3.Angku Dukan (1923) pertama kali menikah dengan Gek Rawiani (ibu dari Erawati, seorang guru SD di Lubuk Gambir), beranak Syariful (terkenal dengan sebutan Ipun). Syariful menikah dengan orang Painan, beranak 5 orang, anak kedua bernama Syafri Mulyadi. Syariful meninggal dunia waktu menunaikan haji di Mekkah pada tahun 1995.. Kemudian Angku Dukan menikah lagi dengan janda angku apung, Jaori, beranak : Inan, Asna, Ishak, dst…
5.4.Angku Newan/Newar (1920). Tidak diketahui.
5.6. Angku “Tupai”, sdr laki2 dari Tahir, Sahir, Isah, Rabak dan Hawa.
5.7. Angku Sahir
5.8. Haji Kima
Generesi keempat keatas
Generasi keempat dan seterusnya keatas (ibu dari gaek-gaek [nenek] dan angku-angku diatas) tidak diketahui namanya dengan pasti. Dulu penulis sudah pernah menyusurinya dan tidak diketahui lagi dimana kertas tempat menuliskan nama-nama mereka. Yang penulis tahu hanyalah nama2 berikut : Lalah, Kima, Tahir, Sahir, Siti Hawa, Cik Adang (suami siti Hawa)
Menurut penuturan dari nenek-nenek yang ada dan anggota Korong yang masih hidup, hubungan mereka adalah sebagai berikut :
- Ibu dari Gek Syamsinyar yang dikabarkan bernama Siti Hawa (1914), bersaudara dengan Ibu dari Gek Mayang. Tapi tidak diketahui dengan pasti apakah keduanya bersaudara dengan ibu dari Gek Sami. Ada yang mengatakan bahwa ketiganya bersaudara tapi ibu dari Gek Sami mempunyai ayah yang berbeda.
- Juga tidak diketahui dengan jelas, bagaimana hubungan angku Lalah (1911), angku Tahir dan angku Sahir dengan ketiga nenek tsb. Kuat dugaaan bhw mereka bersaudara 6 orang.
- Angku Lalah dikabarkan menikah dengan keluarga nenek Ramis dan Beri, disebelah baruh perumahan kami, juga dengan keluarga Mayar
- Entah Angku Sahir atau Angku Tahir diceritakan menikah kepada keluarga nenek Lena Sawajin (semua keturunan dari angku ini atau mungkin juga mamak dari angku ini, yaitu : keluarga Tek Rama, Manih, Bidah/mertuo Jahidin, keluarga Anca, keluarga Lena dsb).
- Haji Kima (1890) adalah mamak atau saudara laki-laki dari ibu 6 orang tsb diatas.
- Gek Aneh bersaudara dengan ibu dari Gek Baini. Berarti Gek Aneh segenerasi dengan Angku Lalah.
- Hubungan ibu dari Suna dengan ibu dari Naani belum jelas. Bisa saudara atau sepupu. Ada yang mengatakan nenek dari suna bersaudara dengan ibu dari gek Baini dan gek Aneh.
- Dulu ada yang mengatakan bhw nenek dari fihak Gek Baini, nenek dari fihak Suna dan nenek dari fihak kami, bersaudara.
- Ada informasi bahwa nenek kami datang dari Muaro Paneh. Mereka adalah seorang nenek dengan saudara laki-laki Sembilan orang. Karena kawatir terjadi kepunahan maka dijemput kerabat dari Lubuak Bagaluang (Lubuak Aur) yaitu fihak Gek Ena.
Gek Ena (1942) bersaudara dengan Angku Piri. Ibunya bernama Alifah, bersaudara dengan ibu dari Gek Tina yg bernama Nurani, Angku Yusuf Nan Pongah dan Angku Sowan. Gek Tina mempunyai beberapa saudara laki-laki yaitu Kodang, Johor dsb. Ibu dari Gek Ena bersaudara dengan Yusuf Nan Pongah (ayah dari Sahi suku Melayu). Yusuf ini terkenal dengan cerdiknya dan kelihaiannya dalam berbicara.
Gek Ena mempunyai seorang anak perempuan dan beberapa laki-laki yaitu Upik, Siman, Sariol, Ongkok, Mursal. Sementara gek Tina mempunyai anak 13 orang tapi meninggal di usia muda semua.
Gek Ena ini segenerasi dengan Gek Baini, Gek Mayang, Gek Sami dan Gek Sinyar. Sedangkan Nan Pongah segenerasi dengan Angku Tahir, Sahir dan Lalah. Entah di generasi ke berapa nenek dari fihak Gek Ena ini dijemput ke Lubuk Bagalung. Ternyata kelompok gek Ena ini juga tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.
menurut informasi dulunya Ninik kami punya sepupu di Lubuk Begalung yaitu kaum Datuak Bandaro Gamuak, Niniak dari Gek Alifah dan Gek Nurani.
Angku Kambiang dan Tuanku Badarah Putiah
Ada pula info bahwa dulu juga ada mamak kami bergelar Angku Kambiang dan Tuanku Badarah Putiah yg seorang ulama sekaligus tabib. Kebanyakan dulu mamak suku Guci adalah ulama. Tuanku Badarah Putiah dan Tuanku Padi bermakam di puncak Bukit Taruang-taruang yang masih ulayatnya Suku Guci.
Suku Guci kaum Tandilangik
Kaum Tandilangik yang di Kapalo Koto Lubuk Gambir sebenarnya merupakan serpih belahan dari kaum suku Guci Datuk Tandilangik yang di Kubang yang merupakan salah satu penghulu pertama di Kubang dan termasuk tujuh penghulu pertama di Bayang Nan Tujuh, tergolong Penghulu Andiko. Ninik dari kaum Tandilangik ini sebenarnya masih berkerabat dengan kaum suku Guci di Kapujan, Koto Baru, Koto Berapak dan Lubuk Aur Lubuk Begalung, sama-sama turun dari Muaro Paneh, Solok Kubuang Tigo Baleh.
di Lubuk Gambir, kaum kami bernaung dibawah Penghulu Andiko Tandilangik ini walaupun secara tanah ulayat pusako kamilah yang lebih dulu datang ke Lubuk Gambir yg waktu itu masih tanpa penghulu. Ninik kami menempati wilayah Bukit Nibuang dan Bukik Taruang-taruang dan dataran di kaki bukit tersebut, bersebelahan dengan ulayat suku Jambak Datuk Rajo Bandaro (Penghulu Pucuk Duo Baleh) dan tanah ulayat Caniago Penghulu Pucuk Datuk Rajo Panghulu yang sekarang digarap oleh kaum Caniago Datuk Bandaro Sati (baruh) baik di seberang sungai (Koto Tuo) maupun yang di Baluka.
Koto Tuo dan Baluka
Koto Tuo dan Baluka menjadi saksi eksistensi keberadaan Niniak kami jauh sebelum Lubuk Gambir ini menjadi sebuah koto bersama Kapencong. Kapencong konon menurut Tambo Bayang 1915 awalnya ditempati oleh suku Sikumbang kaum Datuk Kayo, masih rumpun kami. Sedangkan suku Jambak kaum Datuk Rajo Bandaro dan suku Caniago kaum Datuk Rajo Alam termasuk penghuni pertama di Koto Tuo maupun Lubuk Gambir. Diduga Niniak kami dulunya lebih banyak berperan di bidang keagamaan daripada peran adat atau kepenghuluan sehingga tidak mementingkan gelar penghulu. Ketika suku Guci kaum Datuk Tandilangik datang dari Kubang ke Lubuk Gambir kami bersepakat bernaung dibawah mereka karena kami juga punya belahan di Kubang, Kapujan dan Lubuk Bagalung tapi tetap lebih dekat ke Lubuk Bagalung kaum Datuk Bandaro Gamuak.
Sumber:
- Tambo Bayang 1915 yg ditulis oleh Haji Kutar.
- Sumber Lisan : Baini (nenek), Sami, Pak Jamilis (Sumando), Wan Syariol (mamak), Dasniati (ibu).
- Surat-surat tanah yang kami miliki.
- Leaflet Seminar “Bayang menuju Serambi Mekah” karya Drs. Yulizal Yunus.
No comments:
Post a Comment